REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta adanya tambahan atau perubahan dalam rancangan undang-undang (RUU) pengampunan pajak atau tax amnesty. Hal ini terkait misalnya dengan dana yang didapatkan dari tindak kejahatan korupsi, narkoba, dan pedagangan manusia.
"Tax amnesty harus mengesampingkan beberapa kejahatan. Misal uang itu untuk terorisme, uang itu berhubungan dengan narkoba, kemudian korupsi. Itu harus semua perlu dikecualikan," ujar Komisioner KPK Laode Muhammad Syarif dalam rapat dengan pendapat di Komisi XI DPR, Jakarta, Selasa (26/4).
Menurut Laode, dana dari kejahatan seperti ini seharusnya tidak mendapatkan pengampunan pajak. Apalagi data yang dimasukkan dalam tax amnesty nantinya tidak bisa digunakan untuk membuat pada penjahat ini bisa dipidanakan.
Hal senada diungkapkan Komisioner KPK Alexander Marwata. Menurut dia saat dari berbagai sumber yang diterima KPK, terdapat dana korupsi yang sudah ada di luar negeri. Jika dana tersebut mengikuti tax amnesty, maka para pada pelaku koruptor bisa mendapatkan terhilangkan.
Selain itu, uang dan aset yang saat ini ada di dalam negeri yang dimiliki para korputor kemungkinan bisa hilang potensi tindak pidana ketika mereka mengikuti tax amnesty. Persoalan seperti ini harus diperhatikan oleh pemerintah dan DPR agar dana dari kejahatan memang bisa ditindak secara maksimal.
"Apakah tindak pidananya akan dihilangkan? Ini bagaiaman," ujar Alex.
Selain itu, Alex juga mempertanyakan saat wajib pajak yang merupakan pelaku korupsi datanya tidak bisa digunakan oleh penegah hukum seperti KPK. Sebab data ini sebenarnya bermanfaat untuk mengungkap aksi kejahatan korupsi.
Meski demikian KPK sepenuhnya menyerahkan RUU ini kepada pemerintah dan DPR. Saat kebijakan ini dipastikan bisa menyejahterakan masyarakat luas. Maka KPK akan mendukung penuh kebijakan tersebut.