REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- “Malin Kundang itu apa, Bu? Itu apa dan di mana tempatnya?” tanya salah satu siswa kepada Kepala Sekolah sekaligus guru di Sekolah Dasar (SD) Advent Maima, Jayawijaya, Papua, Joyce Nirupu.
Joyce menceritakan kembali pertanyaan siswanya untuk mendiskripsikan bagaimana sulitnya memberikan pemahaman siswa di Papua soal cerita rakyat yang jauh dari bayang-bayang mereka.
Joyce menerangkan, kesulitan mereka mengajarkan siswa di Papua karena modul yang seragam sehingga anak kesulitan dalam memahami konteks cerita. Oleh karena itu, wajar jika anak-anak Papua pun tertinggal dengan anak di wilayah lain.
Selain itu, dia juga menyebutkan salah satu teks yang pernah diajarkan ke anak Papua, yakni tentang kereta. Saat mendengar kata ini, anak-anak jelas bingung karena tidak pernah melihat benda ini sama sekali. Guru pun mengalami kesulitan untuk menjelaskannya kepada mereka.
Menurut Joyce, modul pembelajaran di Papua memang harus dibedakan. Kondisi Papua dengan wilayah lain sangat berbeda. Modul pembelajaran do sana harus berbasis kearifan lokal sehingga anak bisa dengan mudah memahami konteks dalam kegiatan belajar.
“Kita dulu disarankan Wahana Visi Indonesia (WVI) yang kemudian diberi modul pembelajaran tentang bagaimana memanfaatkan yang ada di sekitar,” kata Joyce dalam Media Briefing "Pembelajaran Pakima Hani Hano di Jakarta, Kamis (28/4). P
Pihaknya pun memperoleh bantuan buku-buku, termasuk buku cerita yang berbasis kearifan lokal. Dengan demikian anak pun mudah memahami teks cerita tersebut karena sesuai dengan situasi mereka.
Joyce menceritakan, saat ini ruangan kelas tidak lagi menjadi patokan dalam pembelajaran. Selama ini, ruangan kelas hanya membuat anak mengantuk apalagi harus belajar tentang buku cerita. Salah satu modul yang ditawarkan WVI adalah menjelajahi sekitar.
Modul ini mengajarkan guru untuk tidak selalu belajar di ruang kelas. Setelah guru mendapatkan pemahaman ini, anak-anak pun selalu belajar di lapangan yang membuat mereka nyaman dan menyenangkan saat belajar.
Saat belajar baca, tulis dan berhitung (Calistung), Joyce mengungkapkan, guru di sekolahnya saat dulu biasanya memajangkan huruf dan angka di depan kelas. “Kita tempel A sampai Z dan jadinya mereka menghapal. Lalu saat kita mengacak huruf itu, mereka jadinya malah bingung,” kata Joyce.
Belajar dari kondisi itu yang juga disertai pemahaman modul dari WVI, para guru pun mulai mencoba mencari cara kreatif untuk mendapatkan solusinya. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan barang khas Papua, noken. Melalui alat ini, anak-anak bisa mempelajari jenis warna, cara berhitung, dan kosakata.
“Pada noken ini ada berapa warna? Apa saja warnanya? Misal anak menyebutkan biru, mereka sekaligus bisa mempelajari kosakata atau huruf apa saja yang ada pada kata ‘biru’ itu,” Joyce menjelaskan.
Menurut Joyce, para guru kini lebih sering menggunakan alat yang ada di sekitar untuk membantu kegiatan pembelajaran. Hal ini tentu saja memudahkan anak untuk memahami pembelajaran di sekolah. “Saya harap ke depannya semua anak bangga sebagai anak Papua, tuntas wajib belajar hingga 12 tahun dan mampu meraih cita-citanya,” tegas dia.