REPUBLIKA.CO.ID, ISE SHIMA -- Kelompok negara maju G-7 berikrar untuk memperkuat perkembangan ekonomi global di tengah ancaman krisis, Jumat (27/5). Para pemimpin negara industri besar dunia menyelesaikan konferensi dengan janji untuk menggunakan segala kebijakan demi meningkatkan permintaan dan mengurangi masalah pasokan.
Dalam deklarasi bersama, G-7 mengatakan, perkembangan global tetap dan di bawah potensi yang seharusnya, sementara risiko melemah masih ada. "Perkembangan global adalah prioritas darurat," kata mereka, di Ise Shime, Jepang.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengatakan, yang paling mengkhawatirkan adalah kontraksi ekonomi global. Hal ini dipicu oleh pelemahan ekonomi negara-negara berkembang. Abe mengatakan, ekonomi global akan jatuh pada krisis jika tidak ada kebijakan khusus.
Konferensi G-7 berakhir dengan lahirnya dokumen deklarasi 32 halaman. Di dalamnya, G-7 berkomitmen pada nilai tukar berbasis pasar dan menghindari devaluasi kompetitif di masing-masing mata uang.
Selain itu, G-7 berjanji untuk lebih berusaha dan menyeimbangkan campuran kebijakan demi mencapai pola pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan dan seimbang.
Selain permasalahan ekonomi, G-7 menyamakan suara soal permasalahan global lainnya, seperti isu Korea Utara dan kekhawatiran Brexit. G-7 meminta Korea Utara menjalankan secara penuh resolusi Dewan Keamanan PBB dan menghentikan uji nuklir, peluncuran rudal dan aksi provokatif lainnya.
Baca juga, KTT G-7 Fokus pada Isu Ekonomi dan Keamanan.
Kelompok negara maju ini juga mengecam aneksasi ilegal Rusia di Semenanjung Crimea. Kelompok mengancam akan melakukan langkah lanjutan untuk merugikan Moskow. Mereka juga menawarkan penarikan sanksi jika Rusia mengimplementasikan kesepakatan sebelumnya dan menghormati kedaulatan Ukraina.
Selain itu, G-7 menyatakan kekhawatirannya atas sengketa perairan Laut Cina Selatan dan Timur.