REPUBLIKA.CO.ID,NEW YORK -- Omar Mateen (29 tahun) menggunakan senjata jenis AR-15 yang dibeli secara legal untuk penembakan massal dan membunuh setidaknya 49 orang di sebuah kelab gay di Orlando, Amerika Serikat (AS), Ahad (12/6).
Mateen yang lahir di AS memiliki izin kepemilikan senjata api dan senjatanya dibeli secara legal. Tersangka teroris secara legal dapat membeli senjata di AS telah menjadi pro kontra di level Kongres dan di antara pendukung kontrol senjata. Namun, Senat menolak amandemen pada bulan Desember yang akan menghentikan terduga teroris dari membeli senjata dan bahan peledak.
Padahal, untuk meloloskan amandemen ini dibutuhkan 60 orang yang sepakat karena aturan prosedural. Namun, ini gagal berbanding 45-54. Lima hari kemudian Senat dari Partai Demokrat mencoba dan gagal untuk memaksa mempertimbangkan rancangan Undang-undang (RUU) terkait hal ini. Gabby Giffords, salah satu korban yang selamat dari penembakan massal 2011, meminta kongres harus melakukan sesuatu setelah serangan di Orlando.
''Amerika Serikat adalah satu-satunya negara maju di dunia di mana jenis-jenis penembakan massal seperti ini sering terjadi. Kongres harus bertindak," ujarnya seperti dikutip dari laman NBC News, Selasa (14/6).
Presiden AS Barack Obama mengakui bahwa Mateen tidak sulit untuk mendapatkan senjata. Ia menegaskan, harus ada diskusi yang lebih luas tentang kepemilikan senjata. "Kami membuatnya sangat mudah bagi individu yang bermasalah atau terganggu untuk mendapatkan senjata yang sangat kuat. Itu masalah,"
katanya.
Pernyataannya diucapkan setelah adanya desakan untuk adanya perubahan setelah serangan itu. Senator AS Dick Durbin mengatakan, Kongres membuat dirinya terlibat" dalam pembunuhan massal dengan tidak memberlakukan mengubah hukum tersebut.
"Kami memiliki kekuatan untuk bertindak, dan kita harus (melakukannya). Intinya adalah kita membiarkan orang-orang berbahaya untuk membeli senjata di Amerika," ujarnya.