REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui tim gabungan kasus reklamasi mengambil membatalkan pembangunan Pulau G secara permanen. Pembangunan pulau palsu itu masuk dalam pelanggaran kategori berat.
Menteri Koordinator bidang Maritim, Rizal Ramli mengatakan, dari hasil yang dilaporkan dari berbagai komite ditarik kesimpulan ada tiga jenis pelanggaran. Yaitu pelanggaran berat, pelanggaran sedang, dan pelanggaran ringan.
Pelanggaran berat adalah keberadaan pulau membahayakan, apakah itu membahayakan lingkungan hidup, membahayakan proyek vital strategis, membahayakan pelabuhan, membahayakan lalu lintas laut. Di bawah Pulau G tersebut terdapat banyak kabel yang terkait dengan listrik milik PLN.
Persoalan kedua adalah mengganggu lalu lintas kapal nelayan. Rizal menyebutkan, sebelum ada pulau itu, kapal nelayan dengan mudah parkir di Muara Angke. Namun, begitu pulau ini dibuat, malah menutup sampai daratan sehingga kapal-kapal diharuskan memutar terlebih dahulu yang membuat biaya bahan bakar semakin tinggi.
Ketiga, tata cara pembangunannya yang secara teknis itu sembarangan, merusak lingkungan, dan mematikan biota. "Jadi kesimpulan kami, contoh pelanggaran pulau G kami putuskan untuk dibatalkan untuk waktu seterusnya," katanya di Kantor Kemenko Maritim, Gedung BPPT, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (30/6).
Ia menambahkan, ada tiga Komite Gabungan yakni Komite Lingkungan Hidup yang melakukan evaluasi tentang lingkungan hidup, pelanggaran yang terjadi, dan apa yang perlu diperbaiki. Komite ini dipimpin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kedua, menyangkut teknis reklamasi apakah sudah dilakukan dengan benar atau dilakukan dengan ngawur dan tidak sesuai kaidah profesional. Komite ini dipimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kemudian, untuk evaluasi tentang regulasi dan perizinan yang dipimpin deputi Kemenko Maritim dan wakil dari departemen teknis dan Pemda DKI.
"Esensinya, saya ulangi kembali, reklamasi itu hal yang biasa di seluruh dunia. Tetapi, jika dilaksanakan secara ugal-ugalan. Motifnya hanya sekadar mencari keuntungan, itu bisa membawa dampak yang merugikan publik, kepentingan lingkungan hidup, tata ruang, flag control, dan komunitas nelayan," katanya.