REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan bom bunuh diri terjadi di depan Markas Polresta Solo, awal pekan lalu. Aksi bom bunuh diri itu diduga kuat dilakukan oleh organisasi teror di Indonesia yang bersimpati terhadap gerakan Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS).
Menurut Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjajaran, Muradi, serangan bom bunuh diri yang terjadi sehari sebelum hari raya Idul Fitri 1437 H itu masih terkait dengan serangan aksi teror yang terjadi di luar negeri. Bahkan, Muradi menilai, masih ada kaitan antara pelaku bom bunuh diri di Solo dengan pelaku serangan teror di Thamrin, Jakarta Pusat, pada Januari silam.
Untuk itu, lanjut Muradi, aparat keamanan, terutama Kepolisian lewat Densus 88 Anti Teror dan BNPT, untuk bersinergi dalam membatasi gerak organisasi teror di Indonesia. "Perlu kiranya untuk secara terintegrasi langkah-langkah efektif dan pengejaran untuk menutup ruang gerak organisasi teror tersebut di Indonesia," ujar Muradi, Sabtu (10/7).
Tidak hanya itu, lanjut Muradi, pengejaran yang dilakukan aparat keamanan terhadap Santoso dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dianggap belum cukup. Namun, upaya memberantas dan mengejar Katibah Nusantara (KN) juga dianggap hal yang perlu dilakukan oleh aparat keamanan. "Karena ada pergeseran kepemimpinan pasca-Santoso tersudut di hutan Poso," tutur Muradi.
Sebelumnya, KN, yang berada di bawah kepemimpinan Bachrun Naim, memang dianggap sebagai salah satu aktor utama serangan teror di Thamrin. Kelompok ini pun diduga kuat berada di belakang aksi bom bunuh diri yang terjadi di depan Mapolresta Solo. "Dan aksi itu diatur secara remote oleh Bachrun Naim dengan jejaring KN, yang melingkupi negara-negara Asia Tenggara, yang berbahasa serumpun melayu," kata Muradi.