REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Dr Waryono Abdul Ghofur berpendapat, terotisme tidak sesuai dengan hakikat Idul Fitri apalagi jika pelakunya menggunakan simbol-simbol agama atau mengatasnamakan agama.
"Hakikat Idul Fitri adalah kembali pada Pencipta atau penciptaan. Umat Islam harus bisa memaknai Idul Fitri dalam tindakan. Kekerasan adalah penyimpangan dan bertentangan dengan Islam," kata kata Waryono di Jakarta, Rabu (13/7).
Dia menyinggung sejumlah bom bunuh diri menjelang Idul Fitri seperti di Mapolresta Solo, di Masjid Nabawi Madinah, di sebuah pusat perbelanjaan di Baghdad, Irak, serta di Bandara Attaturk, Istanbul, Turki yang disebutnya jelas sebagai tindakan teror dan kekerasan.
"Apalagi menimbulkan korban jiwa, sangat tidak sesuai dengan makna Idul Fitri," kata Waryono yang juga menjabat sebagai wakil rektor di kampusnya itu.
Menurutnya, dalam perspektif agama, makna Idul Fitri sangat universal, tetapi semuanya bermuara pada hakikat manusia itu sendiri. "Dimulai dengan puasa, kemudian zakat fitrah yang mengandung simbol bahwa kita harus selalu memberi. Agar kembali pada hakikat manusia itu sendiri," tutur Waryono.
Dia menambahkan, di dalam falsafah Jawa, Idul Fitri atau Lebaran juga memiliki makna labur dan lebur. Labur berarti menghias diri, menutup berbagai perilaku buruk. Caranya adalah melakukan banyak kebajikan yang dapat menutup berbagai perilaku buruk.
Lebur berarti menyatu dalam semesta, bagian dari masyarakat atau bisa dikatakan tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain.
"Karena itu, orang yang melakukan aksi terorisme, antara lain dengan bom, sebenarnya tidak bisa menyatu dengan semesta karena dia membunuh sesama manusia," ujar Waryono.