REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Walaupun pemerintah dan DPR telah memperketat syarat pemekaran daerah otonomi baru, namun beberapa daerah yang telah dilakukan pemekaran ternyata masih memiliki catatan kritis. Pengamat Politik dari Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti mengatakan dari semua daerah pemekaran menjadi daerah otonomi baru, tidak lebih 20 persen daerah pemekaran yang bisa mandiri.
"Sebagian besar daerah otonomi baru ini masih sulit untuk mandiri dan hanya menunggu aliran dana dari pemerintah pusat, itu fakta yang menyedihkan," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (26/7).
Lebih menyedihkan, kata Ray, alih-alih bertujuan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan, justru daerah pemekaran ini menjadi lahan korupsi baru, bagi pejabat dan partai politik di daerah. Ini bisa terlihat ketika daerah otonomi baru itu akan melangsungkan Pilkada.
"Praktik politik uang sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan kecurangan hingga jual beli suara," ujarnya. Banyak kasus Pilkada di daerah yang menjadi catatan. Salah satu kasusnya ada di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.
Pilkada yang berujung pada pemungutan suara ulang (PSU) yang sudah dua kali. Dan kini hasil PSU ke dua kembali digugat di Mahkamah Konstitusi. "Kalau gugatan ini kembali berujung PSU kembali, ini kasus satu-satunya di Indonesia PSU hingga dua kali," katanya.
Fakta ini yang terjadi di beberapa daerah otonomi baru selama kebijakan pemekaran berlaku. Hal yang sama disampaikan Aktivis dari Local Wisdom Institute, La Ode Suhamdih.
Ia mengatakan pihaknya banyak masukan kasus daerah otonomi baru yang menjadi ladang korupsi baru. Sebagai contoh, dari Kabupaten Muna Barat, Sulawesi Tenggara.
"Kami telah menerima banyak laporan dugaan korupsi yang dilakukan dalam pembangunan berbagai infrastruktur daerah," ujar dia.
Laporan-laporan tersebut akan kami verfikasi dan apabila cukup bukti akan kami lanjutkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kemendagri sebagai bahan evaluasi penyesuaian atau penghapusan DOB yang direncanakan dilakukan pada 2017.