REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Restorasi Gambut (BRG) telah menanam alat sensor di 40 titik lahan gambut yang tersebar di tujuh provinsi, antara lain Jambi, Sumatra Selatan, Riau dan Kalimantan Tengah.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan, alat sensor tersebut berfungsi memonitor kadar kelembaban, temperatur dan naik-turunnya muka air tanah dalam gambut.
Jika kandungan air dalam gambut menipis, sensor akan mengirimkan sinyal peringatan. "Kalau sudah kering, dia akan memberikan warning. Artinya kalau sampai gambut ini terbakar, maka habis semua," kata Nazir di Kantor Staf Kepresidenan, Rabu (10/8).
Dia menjelaskan, alat sensor buatan Jepang tersebut dilengkapi dengan modem. Modem itulah yang mengirim data kelembaban, temperatur dan ketinggian muka air lahan gambut.
Selanjutnya, data dari modem akan diterima oleh server yang terpusat di kantor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Data yang diterima oleh server kemudian akan diteruskan ke BRG, Kantor Presiden dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Menurut Nazir, pemasangan alat sensor gambut di 40 titik tersebut saat ini masih dalam tahap percobaan. Alat sensor baru akan dipasang di semua lahan gambut di Indonesia setelah peta restorasi gambut selesai.
Sebab, dari peta itulah akan terlihat lahan gambut mana saja yang harus dipulihkan dan siapa pihak yang bertanggungjawab untuk melakukannya.
"Kita kan melakukan kegiatan restorasi, baik pemerintah, masyarakat, LSM dan perusahaan yang berkewajiban. Nah, dari mana kita tahu upaya itu berhasil atau gagal, efektif atau tidak? Alat ini yang akan memberi tahu," tutur Nazir. Dia menargetkan seluruh alat dapat terpasang dalam jangka waktu satu tahun ke depan.
Seluruh teknologi pemantau lahan gambut itu akan memakan biaya sekitar 3 juta dolar AS. Menurut Nazir, keseluruhan biaya akan berasal dari tiga institusi Jepang yang bekerjasama dengan BRG, yakni Universitas Kyoto, Universitas Hokkaido dan Research Institute for Human and Nature (RIHN) Jepang.