Selasa 13 Sep 2016 08:50 WIB

Nama Disensor di Pemilu, Perempuan Palestina Protes

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bilal Ramadhan
Perempuan Palestina
Perempuan Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Perempuan Palestina menyerukan protes di laman media sosial Facebook dan Twitter, menuntut penghapusan sensor nama mereka dalam bahan Pemilu lokal. Protes di media sosial tersebut melahirkan hashtag 'nama kami tidak boleh tertutup' yang penggunaanya kini meluas di Palestina.

Dilansir dari the Independent, Senin (12/9), seruan protes bermula saat wacana pemilu lokal akan digelar pada 8 Oktober mendatang. Dalam pemilihan anggota dewan yang akan mewakili ratusan daerah di Palestina itu, nama calon pemilih perempuan tidak ditulis secara asli.

Nama-nama mereka diganti dengan sebutan 'istri dari ..' atau 'adik dari..'. "Nama kami semestinya tidak boleh hanya disebut istilah. Sebab, nama kami menunjukkan identitas kami," kata Sumaya al-Mashharawi, seorang aktivis hak perempuan dalam sebuah pernyataan.

Pengecualian nama calon betina dari bahan kampanye menjelang pemilihan kota di Tepi Barat dan Gaza telah memicu fokus baru pada hak-hak sipil perempuan dalam masyarakat Palestina.

Pemilihan untuk menentukan dewan lebih dari 400 kota-kota di wilayah Palestina yang dijadwalkan akan digelar 8 Oktober, tapi dihentikan oleh pengadilan tinggi Ramallah pekan lalu. Fakta bahwa beberapa papan tulis termasuk kandidat perempuan yang namanya telah diganti dengan 'istri' atau 'adik' tidak luput dari perhatian.

Berita bahwa beberapa bahan pemilihan dari desa-desa di dekat Hebron dan Jenin dikecualikan nama perempuan menyebabkan protes di media sosial, melahirkan hashtag Arab 'nama kami tidak boleh tertutup', yang dengan cepat pergi virus.

Perempuan mengambil ke Twitter dan Facebook menggunakan hashtag untuk mengatakan mereka bangga untuk menempatkan nama mereka untuk prestasi mereka, serta orang-orang dari ibu mereka, saudara perempuan dan anak perempuan. Banyak pria melakukan hal yang sama.

"Nama kami tidak istilah belaka, nama kami lihat identitas kita," kata aktivis hak Sumaya al-Mashharawi dalam sebuah pernyataan.

Direktur Koalisi Organisasi Perempuan di Jalur Gaza,Nadia Abu Nalha, beranggapan jika ketentuan dalam pemilu kali ini merupakan bentuk kemunduran bagi hak kaum perempuan Palestina.

"Jika nama mereka tidak diakui, bagaimana bisa kebutuhan perempuan akan ditambahkan ke perencanaan dan koordinasi agenda kota?," tegasnya.

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum Pusat menyatakan bahwa kertas pengumuman calon pemilih yang ada saat ini adalah ilegal. Sebab, perempuan berhak untuk partisipasi politik penuh di bawah hukum Palestina.

Hingga saat ini belum ada penjadwalan ulang terhadap pemilu lokal tersebut. Adapun dua belah pihak yang berkuasa di tepi barat, Hamas dan Fatah saling menyalahkan atas keterlambatan proses pemilihan maupun persiapan masa depan parlemen ke depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement