REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kurang setuju dengan usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait usulan pembebanan biaya sosial bagi terpidana kasus korupsi. Daripada pembebanan biaya sosial, Yasonna lebih setuju jika aparat penegak hukum fokus mengejar aset-aset milik koruptor yang diperoleh dari hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Yang penting sebenarnya bukan pembebanan biaya sosial, tapi TPPU-nya dikejar," ujarnya di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (16/9).
Menurut Yasonna, pengambilan aset koruptor dari hasil TPPU juga memiliki efek jera. Terlebih, jika itu juga dibarengi dengan hukuman berupa denda yang tinggi.
"Kalau uangnya ditarik semua, mau jadi apa dia?" katanya.
Namun begitu, Yasonna tak mau mempersoalkan apakah ia setuju atau tidak setuju dengan usulan adanya pembebanan biaya sosial tersebut. Sebab, KPK juga belum pernah mengkonsultasikan usulan itu kepada Kementerian Hukum dan HAM. Terlebih, pembebanan biaya sosial untuk koruptor juga belum memiliki dasar hukum.
"Ini kan harus kita konsultasikan dulu. Tapi itu memang bisa jadi alternatif," ujar Yasonna.
Sebelumnya, KPK mendorong agar koruptor dikenai hukuman tambahan berupa pembebanan biaya sosial. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mencontohkan, jika ada jembatan yang roboh karena biaya pembangunannya dikorupsi, maka koruptor tak hanya dianggap memakan uang negara senilai uang pembangunan jembatan baru. Tetapi juga termasuk kerugian ekonomi yang diderita masyarakat karena jembatan yang dikorupsi tak dapat berfungsi.