REPUBLIKA.CO.ID, PRETORIA -- Afrika Selatan akan keluar dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) karena kewajibannya tidak sesuai dengan undang-undang, yakni memberikan kekebalan diplomatik bagi pemimpin menjabat.
Menteri Kehakiman Michael Masutha, Jumat (21/10), mengatakan pada 2015 negaranya berencana keluar dari ICC setelah dikritik karena mengabaikan perintah pengadilan untuk menahan Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir, yang dituduh melakukan pemunahan dan kejahatan perang, saat ia berkunjung ke Afrika Selatan.
Bashir membantah tuduhan tersebut. Masutha mengatakan, untuk memastikan kemampuan Afrika Selatan dalam menjalankan hubungan diplomatik, rancangan undang-undang untuk mencabut pengasahan atas Statuta Roma ICC segera dibawa ke parlemen.
Masutha mengatakan kepada wartawan di ibu kota, Pretoria, penerapan statuta itu bertentangan dan tidak sejalan dengan Undang-undang Keistimewaan dan Kekebalan Diplomatik Afsel. Dokumen, yang dilihat Reuters di PBB pada Kamis, menunjukkan langkah tersebut akan mulai efektif setahun setelah surat pemberitahuan secara resmi diterima oleh Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon.
Dokumen tersebut ditandatangani Menteri Kerja Sama dan Hubungan Internasional Afsel Maite Nkoana-Mashabane tertanggal 19 Oktober. Pengadilan Kriminal Internasional yang dibentuk pada 2002 dan mempunyai 124 negara anggota, merupakan badan hukum pertama dengan yurisdiksi internasional tetap untuk mengadili pelaku genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang.
Beberapa negara Afrika mengungkapkan keprihatinan pusat perhatian pengadilan bermarkas di Den Haag itu adalah Afrika, bukan kawasan lain di dunia.