REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Imparsial, Al araf mengatakan, Presiden Joko Widodo maupun mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak bisa lepas tanggung jawab terkait hilangnya dokumen asli hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kematian Munir. Menurutnya, masalah ini merupakan persoalan serius dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.
"Dokumen hasil penyelidikan kasus pembunuhan Munir yang dibuat TPF adalah dokumen resmi negara dalan kerangka penegakan hukum bagi penyelesaian kasus Munir," kata Al araf dalam jumpa pers, di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (27/10).
Al araf menilai, hilangnya dokumen laporan TPF menunjukkan tata kelola administrasi negara buruk. Di samping itu, diserahkannya dokumen tersebut ke Arsip Nasional oleh SBY merupakan keputusan yang tidak tepat karena pengungkapan kasus Munir belum selesai.
Menurut Al araf hilangnya dokumen resmi negara merupakan sebuah kejahatan tindak pidana. Hal itu mengacu kepada Pasal 53 Undang-Undang keterbukaan publik Nomor 14 Tahun 2008. Kemudian juga bisa mengacu terhadap UU No 43 Tahun 2009 tentang kearsipan. Dalam pasal 86 disebutkan setiap orang dengan sengaja memusnahkan arsip di luar prosedur dapat dipidana paling lama 10 tahun.
"Lebih dari itu belum ditemukannya dokumen resmi TPF semakin menguatkan dan mempertegas bahwa pembunuhan terhadap Munir merupakan pembunuhan politik yang melibatkan operasi bersifat rahasia, terencana, dan bersekongkol," ujarnya.
Al araf menegaskan terhadap kekuatan tertentu yang berusaha menjegal penyelesaian kasus Munir. Kasus Munir, kata Al araf hingga kini belum selesai karena beberapa temuan TPF ada yang belum ditindaklanjuti.