REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teror dan ledakan bom terjadi di depan Gereja Oikumene di Jalan Dr Cipto Mangunkusumo, Samarinda, Kalimantan Timur, Ahad (13/11) siang. Menurut pengamat terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, peristiwa ini membuktikan pemerintah gagal mencegah pelaku teror kembali mengulangi perbuatannya.
"Fakta eks napi terorisme ternyata masih kembali beraksi menunjukkan bahwa walaupun penegakan hukum telah berjalan, kita gagal mencegah pelaku teror mengulangi perbuatannya," kata Khairul saat dihubungi, Selasa (15/11).
Menurut dia, program deradikalisasi selama ini yang dilakukan untuk menanggulangi terorisme terbukti gagal. Sebab, ia menilai agenda deradikalisasi tersebut hanya sekedar seremonial saja. Deradikalisasi yang dilakukan tak mampu menjangkau kelompok rentan, bahkan belum bisa menyadarkan pelaku yang telah menjalani proses hukum.
Selain itu, kembali munculnya tindakan terorisme tak terlepas dari masalah diskriminasi, kesenjangan sosial ekonomi, ketidakadilan hingga kemiskinan yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah.
"Terorisme sebagai bentuk kejahatan berlandaskan kebencian atau hate-crime dimana faktor-faktor pencetusnya adalah PR besar pemerintah... Itu semua tidak pernah diselesaikan secara lugas, komprehensif dan konstruktif," tambah dia.
Khairul menilai, seharusnya pemerintah lebih menekankan untuk membangun empati dan kesadaran serta trauma healing untuk mencegah radikalisme dan terorisme. Pemerintah dan masyarakat pun dimintanya untuk menahan diri agar tidak menebar kebencian.
"Ini soal seberapa besar upaya menahan diri untuk tidak menebar kebencian dan melampaui ketakutan kita untuk bisa menerima perbedaan sebagai kenyataan," ucapnya.
Ledakan bom yang terjadi di Gereja Oikumene di Jalan Cipto Mangunkusumo RT 03, Nomor 37, Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda, pada Minggu pagi diketahui menyebabkan lima orang terluka. Salah satu korban yang masih balita pun meninggal dunia pada Senin akibat luka bakar yang cukup parah.