REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus pelaporan dugaan pencemaran nama baik atau hasutan bersifat suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) lewat media sosial dinilai semakin marak. Biasanya, seseorang yang dilaporkan atas kasus-kasus tersebut lewat media sosial dijerat dengan pasal 27 dan 28 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kepala Divisi Riset Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Asep Komarudin mengatakan di iklim demokrasi seperti sekarang ini, penghinaan nama baik berbeda tipis dengan kritik yang berkaitan dengan unsur subjektivitas. Sebab ketika seseorang menyampaikan kritik, bisa saja ada orang atau kelompok tertentu yang merasa terhina. Dia pun menyayangkan adanya pasal 27 dan 28 UU ITE yang bersifat multitafsir.
"Banyak kasus (kepolisian) menggunakan pasal tersebut terhadap warga biasa yang memberikan kritik terhadap penyelenggara publik. Akhirnya warga tersebut direpresif dengan pasal tersebut," ujarnya kepada Republika.co.id.
Asep memprediksi akan semakin banyak orang yang terjerat pasal-pasal tersebut. Dengan rumusan seperti saat ini, seseorang akan dengan mudah dikenakan pasal 27 dan 28. Untuk itu, LBH Pers menilai seharusnya kedua pasal tersebut dihapuskan dari UU ITE.
"Di musim pilkada akan meningkat penggunaan pasal-pasal ini," katanya.
Beberapa waktu lalu, LBH Pers pernah mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi. Namun kala itu MK beralasan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mampu menjangkau tindak pidana di dunia maya sehingga pasal-pasal UU ITE tersebut diperlukan.
Namun, kata Asep, argumentasi tersebut terbantahkan. KUHP nyatanya mampu menjerat tindak pidana pencemaran nama baik di dunia online. Bahkan unsur-unsur dalam KUHP lebih rigid sehingga menjadi jelas. Kini, setelah ada revisi UU ITE, pasal-pasal tersebut tetap ada, hanya saja masa hukuman pidananya saja yang diturunkan.