Selasa 06 Dec 2016 17:44 WIB

Pengamat: Perbuatan Makar tak Harus Ada Kekerasan atau Kerusuhan

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bilal Ramadhan
Anggota Brimob Polri memperketat pengamanan pascapenangkapan sejumlah tokoh dalam kasus dugaan makar di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/12).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Anggota Brimob Polri memperketat pengamanan pascapenangkapan sejumlah tokoh dalam kasus dugaan makar di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat (2/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pihak mengkritisi tuduhan makar aparat kepolisian terhadap sejumlah aktivis, purnawirawan TNI dan kader parpol. Hal ini karena penggunaan istilah makar dinilai berlebihan kepada 11 aktivis tersebut, lantaran perbuatan para tersangka dinilai tidak masuk dalam unsur makar.

Mabes Polri sebelumnya menyatakan dugaan perbuatan makar oleh para aktivis telah dimulai dengan pemufakatan jahat para tersangka untuk merencanakan makar. Yakni melakukan sejumlah pertemuan, sebagai upaya menduduki gedung DPR RI meski tanpa pasukan maupun senjata.

Hal ini pun menimbulkan pertanyaan publik, apakah perbuatan kesebelas orang tersebut sudah masuk dalam kategori makar. Adapun kepada para tersangka sendiri dijerat pasal 107 juncto pasal 110 juncto pasal 87 KUHP.

Menurut Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, sebuah perbuatan dikategorikan makar sebagaimana disebut dalam pasal 87 KUHP, dalam doktrin dan yurisprudensinya memperluas arti makar. Yakni tahapan persiapan yang kemudian dibuktikan dengan adanya niat (mens rea) berupa persiapan atau perbuatan Makar.

"Mengacu pasal ini, tindakan makar dapat terjadi pada tahapan yg dinamakan voorbereidigings handeling atau persiapan perbuatan sifatnya, dapat dipidana," ujar Indriyanto saat dihubungi di Jakarta, Selasa (6/12).

Karenanya, dalam kasus 11 tokoh tersebut, Indriyanto menilai penyidik menggunakan pasal tersebut dengan melihat tahapan persiapan perbuatan para tokoh, yang dianggap sebagai upaya merencanakan percobaan makar. Seperti upaya penggulingan Pemerintahan yang sah, yang dalam pasal tersebut sudah memenuhi unsur niat.

"Misalnya saja adanya alat bukti berupa undangan dan saksi berupa penyebaran undangan mengganti pemerintahan sah dan membentuk pemerintah transisi ini ini telah memenuhi unsur niat atau faktor subyektif negatif dari mens rea untuk menggulingkan Pemerintahan yang sah pada tahapan sudah terpenuhi," ujar Indriyanto.

Ia juga menyebut, perbuatan makar juga diartikan tidak harus ada pelaksanaan perbuatan, yakni cukup dengan permulaan pelaksanaan sudah terpenuhi. Menurutnya pelaksanaan sudah dapat dipidana jika telah ada undangan, orasi untuk mengganti pemerintahan yang sah.

Ia juga menilai, perbuatan makar tidak perlu menunggu ada akibat dari perbuatan tersebut tersebut misalkan kerusuhan maupun ancaman kekerasan. "Ini tidak perlu ada akibatnya berupa kerusuhan dalam masyarakat, karena ini delik formil, karena itu percobaan makar sudah dapat dipidana. Ketentuan makar tidak harus ada kekerasan atau ancaman kekerasan dan bukan dalam pemahaman pemberontakan fisik," ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement