REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat Ilham Bintang menegaskan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak memiliki kewenangan melakukan sensor tayangan berita di televisi, karena melanggar UU Pers 40/1999 dan UU Penyiaran 32/2002.
"Tugas KPI adalah mengawasi, bukan berarti punya wewenang menyensor," ujar Ilham saat diskusi di sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta, baru-baru ini.
Dalam siaran persnya yang disampaikan kepada Republika.co.id, Kamis (8/12), Ilham menyoroti sepak terjang KPI yang tertuang dalam surat tegurannya ke beberapa stasiun televisi terhadap program jurnalistik TV, dan imbauannya yang dinilai sampai masuk ke ranah urusan teknis "dapur" redaksi seperti meminta stasiun TV mengurangi liputan live dan lain-lain, merupakan bentuk tindakan penyensoran yang diharamkan dalam UU Pers.
Ilham mengingatkan, dalam UU Penyiaran disebutkan antara lain harus dalam mengawasi kegiatan siaran TV, KPI perlu memperhatikan Kode Etik Jurnalistik (KEJ)."Saya sangat percaya pers bisa menyensor sendiri liputan yang bermanfaat bunga kepentingan bangsa. Bagaimanapun, wartawan itu nasionalis dulu baru jurnalis. Tidak mungkin mengorbankan bangsa dan negara," ujarnya.
KPI, menurut Ilham, tidak mengurusi etika dan pedoman kerja wartawan. KPI hanya mengurusi hasil kerja wartawan ketika tayang di televisi. Bagaimanapun, dalam UU Pers No 40/1999 pasal 4 (1) telah dinyatakan bahwa "Kemerdekaan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara" dan ayat berikutnya disebutkan "Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran.
"Hal ini tidak disangkal oleh UU Penyiaran No 32/2002, tetapi malah diperkuat dalam pasal 42 UU tersebut yang menyatakan "Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik elektronika tunduk kepada KEJ dan peraturan perundang-undangan yang berlaku."