REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Besarnya jumlah penduduk, dan tingkat konsumsi energi yang tinggi mengancam energi Indonesia jika tidak disikapi dengan bijak. Padahal, potensi energi baru terbarukan (EBT), seperti angin, surya, atau panas bumi sangat berlimpah di Indonesia
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Alexander Sonny Keraf mengatakan, pengembangan EBT menjadi keharusan agar Indonesia dapat memenuhi kebutuhan energi. Tujuannya agar negara ini mampu bertahan, dan berdaulat.
“Kedaulatan energi bicara penggunaan semaksimal mungkin sumber daya dalam negeri. Konsekuensinya, kita harus mengutamakan EBT, ini sebuah keharusan. EBT harus dikembangkan secara serius dan prioritas,” kata Sonny dalam seminar “Optimalisasi Pengelolaan Sumberdaya Energi Untuk Ketahanan Nasional di IPB, Bogor, melalui siaran pers, Selasa (13/12).
Mantan Negeri Negara Lingkungan Hidup Era Presiden Abdurahman Wahid ini menuturkan, Penggunaan EBT masih sangat rendah, sementara krisis energi fosil sudah di depan mata. Jika tidak ada terobosan berarti di sektor energi, bukan tidak mungkin pada 2025 Indonesia mengalami defisit energi, baik listrik dan bahan bakar minyak secara signifikan.
“Secara konservatif, potensi EBT baru digunakan sebesar 1 persen dari total 801,2 gigawatt (GW). Ke depan, impor energi harus dikurangi,” ujarnya.
Visi Indonesia mewujudkan ketahanan dan kedaulatan energi sebenarnya telah tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Namun, EBT punya tantangan yang mesti mendapat perhatian dan keberanian dari pemangku kebijakan.
Sonny tidak menampik bahwa biaya memproduksi EBT masih lebih mahal daripada energi fosil. Tapi, hal ini juga dikarenakan pemerintah terlambat mengembangkannya. Teknologi juga masih harus impor, sehingga butuh persiapan agar sumber daya manusia (SDM) berkompeten.