REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan agar Mahkamah Agung (MA) bisa memiliki wewenang mendiskualifikasi Calon Presiden (Capres) atau Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang terbukti melakukan praktik politik uang secara Terstruktur, Sistematis, Massif (TSM) dianggap sebagai terobosan penting dalam upaya menekan praktik politik uang di Pilpres mendatang.
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal A Budiyono menilai praktik politik uang bertentangan dengan semangat fair play dan bisa membiaskan tujuan politik pemilih lewat Pemilu.
"Dengan makin kecilnya peluang Capres/Cawapres melakukan politik uang, diharapkan kualitas Pemilu semakin meningkat, kedaulatan rakyat juga semakin nyata dan peluang memilih calon terbaik cukup terbaik," kata Zaenal A Budiyono dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (17/12).
Tidak hanya itu, menurut Zaenal, peluang lolos atau tidaknya poin tersebut di DPR cukup besar. Hal ini karena sudah ada preseden di UU No.10 tahun 2016 tentang Pilkada, yang telah mengatur hal tersebut. Namun, Zaenal menegaskan, terkadang aturan ideal tidak selalu mudah dieksekusi dalam tahapan pemilihan (politik praktis).
Mulai dari kerasnya tarik-menarik kepentingan antarkelompok politik di belakang pasangan Capres/Cawapres, hingga ekses politik, keamanan, dan sosial dari pembatalan Capres tersebut. Belum lagi proses pembuktian pelanggaran politik uang TSM yang pastinya akan sangat kompleks di lapangan.
Tafsir hukum yang berlainan dari berbagai pihak yang berkepentingan, lanjut Zaenal, juga berpotensi terjadi. Alhasil, akan memperlambat pemberian sanksi tersebut.
"Intinya aturan ini ideal, tapi berpotensi membentur tembok besar dalam pelaksanaan. Jangan sampai UU nantinya hanya menjadi macan kertas, garang di konsep, lemah dalam realisasi. Bukankan banyak pranata hukum kita yang demikian?," tuturnya.