REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh nasional Rachmawati Soekarnoputri merasa terus dipojokkan aparat. Terlebih, setelah polisi menyebut kehadiran putri Bung Karno saat diskusi di Rumah Amanah Rakyat di Jalan Cut Nyak Dien, Menteng, Jakarta Pusat.
Informasi mengenai kehadiran putri Bung Karno di Rumah Amanah Rakyat itu disampaikan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, (Senin, 9/1) kemarin terkait pemeriksaan pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy.
Seperti diberitakan sebelumnya, Argo mengatakan bahwa pihaknya memeriksa Noorsy karena yang bersangkutan pernah bertemu dengan Rachmawati di Rumah Amanah Rakyat. Karena itu, Juru bicara Rachmawati, Teguh Santosa membantah informasi tersebut.
"Ibu Rachma tidak pernah menghadiri diskusi dan atau jadi pembicara dalam diskusi di Rumah Amanah Rakyat seperti yang dikatakan pihak Polda Metro Jaya. Sebetulnya, polisi bisa tanya soal ini ke pengelola Rumah Amanah Rakyat, mantan wakil gubernur DKI Jakarta Prijanto," ujar Teguh dalam keterangan resminya, Selasa (10/1).
Teguh juga menyampaikan bahwa Rachmawati memprotes keras tuduhan yang disampaikan polisi soal kasus makar ini. "Beliau sudah memberikan kerangan yang cukup jelas menyangkut semua tuduhan dalam dua kali pemeriksaan. Ibu Rachma merasa ada upaya untuk terus memojokkan dirinya dengan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar ini," kata Teguh.
Noorsy, menurut dia, hadir dalam pertemuan terbuka yang diselenggarakan pada tanggal 20 November 2016 di Aula Ir Soekarno, kampus Universitas Bung Karno (UBK), Jakarta. Banyak aktivis yang hadir dan bicara dalam pertemuan itu. Media massa pun dengan bebas bisa meliput kegiatan tersebut.
Rachmawati juga sudah memberikan penjelasan mengenai pertemuan tanggal 20 November 2016. Tidak ada agenda khusus yang dibahas, kecuali dua hal, yakni bela Islam dengan mengawal kasus penistaan agama yang dilakukan Basukin Tjahaja Purnama alias Ahok, dan bela negara dengan menyerahkan petisi kembali kepada UUD 1945 yang asli.
Rachma menilai, amandemen terhadap konsitusi yang dilakukan sebanyak empat kali dari tahun 1999 hingga 2002 sebagai akar dari berbagai masalah yang dihadapi Indonesia. Amandemen tersebut membuat pemerintah tidak memiliki kemampuan melindungi warga negara.
Teguh menambahkan, pikiran agar Indonesia kembali menggunakan UUD 1945 yang asli sudah lama dibicarakan Rachmawati, termasuk saat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI di era Susilo Bambang Yudhoyono.
"Waktu itu Ibu Rachma sama sekali tidak pernah dituduh makar. Mengapa sekarang aspirasi kembali ke UUD 1945 yang asli disamakan dengan tindakan makar dan upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah? Ini kan aneh," kata Teguh.