Rabu 15 Feb 2017 10:13 WIB

Pemilih Diingatkan Fatwa Haram di Pilkada Aceh

Polisi Air Polda Aceh memasukkan ogistik pilkada ke kapal patroli guna pendistribusian di pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Selasa (14/2) (Ilustrasi).
Foto: Antara/Ampelsa
Polisi Air Polda Aceh memasukkan ogistik pilkada ke kapal patroli guna pendistribusian di pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh, Selasa (14/2) (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  ACEH TENGGARA -- Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, kembali mengingatkan pemilih atas fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap politik uang atau money politicS dalam pilkada serentak hari Rabu (15/2). "Dia (jatuhnya) haram, manakala kita sudah menentukan pilihan. Sementara calon lain memberi kita uang, lalu berpindah ke calon itu. Ini jelas haram, dan itu pasti," tegas Wakil Ketua MPU Aceh Tenggara, Tengku Abbas di Kutacane.

Menurut Tengku Abbas, fatwa haram politik uang tersebut pernah disuarakan oleh Ketua MUI saat dijabat Din Syamsuddin pada April 2014 terkait politik transaksional berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam hadis ini dinyatakan jelas bahwa yang namanya politik uang, serangan fajar, serangan Dhuha, serangan tengah malam, serta politik transasksional "Wani Piro" yang terjadi selama ini jelas melanggar ketentuan agama.

"Saat ini, politik uang telah mewabah tidak cuma di Aceh Tenggara, akan tetapi juga secara nasional terutama saat menjelang pemungutan suara di pilkada seretak jilid dua yang digelar pada 15 Februari 2017," katanya.

Komisi Independen Pemilihan (KIP) setempat, telah meloloskan dua pasangan calon bupati dan wakil bupati Aceh Tenggara yakni nomor urut satu Raidin-Bukhari, dan nomor urut dua merupakan pasangan petahana Ali Basrah-Denny Febrian Roza. Sedangkan pemilihan calon gubernur dan wakil gubernur Aceh diikuti oleh enam pasangan calon. Kedua kegiatan ini, bakal dipilih masyarakat di Aceh Tenggara dengan jumlah daftar pemilih 143.973 orang dan 428 tempat pemungutan suara.

"Bahkan di Amerika sekalipun sebagai pelopor demokrasi, mencari uang dalam berpolitik. Itulah gunanya iman, agar dapat membetengi diri dari politik uang," katanya.

Komisioner Bawaslu Daniel Zuchron mengatakan, dalam undang-undang pemilihan kepala daerah yang baru, telah dipertegas baik si pemberi dan si penerima uang terkait pemilu dapat dikenakan pidana. Persoalannya dari sisi pengawasan, pihaknya masih lebih fokus dibagian hilir atau lapangan. Menurut dia, perlu penguatan kewenangan pengawasan Bawaslu dibagian hulu dengan turut membuka kerja sama dengan lembaga lain.

"Penanggulangan politik uang tidak bisa hanya Bawaslu, harus melibatkan semua pihak. Bawaslu perlu bekerja sama dengan Bank Indonesia, PPATK dan OJK untuk meminimalisasi lalu lintas politik uang, tetapi undang-undang saat ini belum secara spesifik mengatur kerja sama antar pengawas ditingkat hulu itu," ujar dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement