REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menilai, polemik yang terus berlanjut antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan merugikan kedua belah pihak bila tak ada perundingan sehat. Apalagi, yang juga terkena imbasnya secara langsung adalah masyarakat Papua, di mana PTFI menjalankan roda bisnisnya.
Sri menjelaskan, pada prinsipnya pemerintah terus menyampaikan kepada PTFI suatu tawaran-tawaran kesepakatan demi menjaga keberlanjutan kegiatan ekonomi perusahaan. Meski ingin mengakomodasi kelanjutan usaha PTFI, tetapi Sri menegaskan bahwa pemerintah sama sekali tak ingin menciderai ketetapan Undang-Undang yang dengan tegas mengatur apa saja yang harus PTFI lakukan. Pemerintah, kata dia, juga memberikan waktu enam bulan kepada perusahaan asal Amerika Serikat (AS) tersebut untuk menyelesaikan perundingan terkait perubahan Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan poin-poin teknis di dalamnya.
"Kita bisa saling melihat apa fakta-fakta dalam KK, dan apa saja yang ada dalam UU Minerba dan bagaimana kita bisa sepakat menuangkannya," ujar Sri di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (22/2).
Apalagi, posisi Freeport sebagai perusahaan publik tentu membuatnya tak bisa gegabah melangkah. Sri mengingatkan, saham perusahaan bisa anjlok ketika Freeport memutuskan untuk berhenti beroperasi.
"Kalau kita mau terus menerus akan menuju kepada hal yang sifatnya negatif, pasti tidak hanya buruk kepada kita namun juga buruk kepada PTFI sendiri," ujarnya.
Ia menambahkan, dalam proses perundingan selama enam bulan ke depan ini ia berharap ada poin-poin kesepakatan yang tetap rasional dan transparan kepada masyarakat. Sri juga ingin agar penerimaan negara dan daerah tetap terjamin apapun bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam status kontrak yang baru nantinya.
Baca juga: Ini Alasan Sri Mulyani Tetap Pegang Undang-Undang Hadapi Freeport