REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kebijakan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM perihal permohonan pembuatan paspor baru mendapatkan kritikan. Khususnya, mengenai poin kewajiban memiliki tabungan senilai Rp 25 juta atas nama pemohon.
Kritikan itu datang dari penikmat jalan-jalan dari kalangan menengah ke bawah. Pendiri komunitas Backpacker Dunia (BD), Elok Dyah Messwati menilai kebijakan tersebut cukup merugikan bagi anak-anak yang ingin jalan-jalan ke luar negeri .
Menurut Elok, tidak semua orang-orang yang jalan-jalan dalam hal ini backpacker memiliki banyak uang. Bahkan, kata Elok, mayoritas anggota komunitasnya yang masih muda dan belum masuk kuliah atau dunia kerja, belajar menabung untuk jalan-jalan.
Rata-rata mereka menabung Rp 10 ribu per hari, sehingga dalam setahun tabungannya terkumpul sekitar Rp 3,6 juta. Dengan uang sebanyak itu, mereka bisa keliling lima negara, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Kamboja, dalam dua atau tiga pekan,
“Itu menabungnya satu tahun loh. Apalagi mereka diminta untuk menyiapkan uang Rp 25 juta hanya untuk paspor doang. Anak-anak yang belum punya paspor yang usianya masih belasan tahun, 20 tahun awal, bagaimana harus menyiapkan uang 25 juta. Berarti mereka mengharapkan orang tua dong untuk menyiapkan itu,” keluh Elok saat dihubungi melalui seluler, Ahad (19/3)
Padahal, kata Elok, dengan anak muda berkeliling Asia Tenggara dengan uang sendiri mereka mengubah cara pikir menjadi orang berpikiran terbuka. Misalnya, mereka menemukan hal yang baru, seperti ketertiban warga negara Singapura dan tidak membuang sampah sembarangan.
Kemudian kebaikan-kebaikan bangsa asing, misalnya mereka ke Thailand, Kamboja yang mayoritas beragama Budha. jadi mereka merasa jadi terbuka pikirannya. “Dengan traveling mereka bisa merasakan kebaikan orang yang beda agama, bangsa, bahasa, dan juga etnis. Juga mereka tetap merasakan sentuhan humanistik dalam perjalanan hidupnya, karena traveling itu,” tambah wanita yang mengabdikan dirinya sebagai seorang jurnalis itu.