REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Ushul Fiqih IAIN Raden Intan Lampung, Ahmad Ishomuddin menjadi saksi kedua meringankan dalam sidang lanjutan ke-15 kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang digelar di Auditorium Kementrian Pertanian, Jalan Harsono, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa (21/3).
Ahmad dihadirkan tim penasihat hukum sebagai saksi ahli agama. Diketahui, Ahmad merupakan Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Jakarta, namun ia menolak bila disebut kehadirannya sebagai saksi mewakili Nahdlatul Ulama.
"Saya pembantu Rais Aam (PBNU), tapi saya tidak mewakili NU. Saya disini atas nama pribadi," ujar Ahmad di dalam ruang persidangan.
Kepada Majelis Hakim, Ahmad juga mengaku sebagai salah satu bagian dari komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia. Namun, meskipun salah satu bagian dari komisi Fatwa, Ahmad mengaku tidak mendapatkan informasi dan undangan ketika komisi fatwa MUI membahas dan mengambil sikap keagamaan Ahok yang telah menodai Alquran dan ulama dengan mengutip surat Al Maidah ayat 51.
"Saya tidak dapat informasi. (mengeluarkan sikap keagamaan) Memang, melibatkan komisi fatwa, tapi saya enggak termasuk yang dapat undangan. Saya tidak ikut dilibatkan," katanya.
Menurut Ahmad sikap keagamaan MUI tersebut merupakan suatu kekeliruan yang memicu banyak permasalahan. "Sikap keagamaan ini pemicu masalah ini jadi semakin besar. Kita bisa lihat sejumlah demonstrasi yang dilakukan, sampai munculnya GNPF MUI," katanya.
Seharusnya, kata Ahmad, sikap keagamaan MUI harus dibarengi dengan konfirmasi pada Ahok terlebih dahulu. "Saya dapat informasi MUI tidak lakukan klarifikasi yang dimaksud, MUI tak melakukan crosscheck ke Kepulauan Seribu dan tak minta pak Ahok keterangan tiba-tiba keluar pernyataanya," jelas Ahmad.
Namun, Ahmad sependapat ihwal pendapat MUI terkait keharmonisan. "Saya setuju seperti poin keharmoisan harus tetap terjaga. Tapi hal memutuskan yang bisa merugikan orang lain tanpa melakukan tabayyun adalah hal tak sependapat," ujar Ahmad.
Selain itu, Ahmad juga menjelaskan soal arti kata 'auliya' dalam Surat Al Maidah ayat 51. Menurutnya, berdasarkan tafsir baru Kementerian Agama, kata 'auliya' berarti teman setia. "Kecuali terjemahan Kementerian Agama yang lama dan sudah direvisi (arti auliya pemimpin)," kata dia.
Meski begitu, dia tak mempermasalahkan apabila masih ada pihak yang menganggap arti auliya dalam surat Al Maidah ayat 51 sebagi pemimpin. Karena, berdasarkan tafsir yang ia ketahui auliya adalah teman setia.
"Kalau ada yang menerjemahkan sebagai pemimpin, silakan. Tetapi, menurut tafsir yang saya pelajari, dari ratusan kitab tafsir, tidak satupun memiliki makna pemimpin," kata Ahmad.
Lebih lanjut Ahmad juga menjelaskan, terkait konteks dari isi dari surat Al Maidah ayat 51 yang berkaitan dengan perang pada saat jaman nabi. Ahmad menerangkan surat Al Maidah ayat 51 menjelaskan hubungan antara orang islam dengan pemeluk agama lain saat perang fisik terjadi. Ayat tersebut dapat diterapkan jika ada konteks yang sama terjadi saat ini.
"Kalau diterapkan dalam konteks kekinian, puncak permusuhan bisa terjadi jika konteksnya sama yaitu terjadi peperangan secara fisik antara orang islam dengan agama lain. Konteks surat Al Maidah ayat 51 adalah peperangan," jelasnya.
Ahmad menambahkan, untuk menafsirkan ada empat metode tafsir yang digunakan untuk mengartikan ayat suci Alquran. Keempat cara itu adalah metode penafsiran global, analisis, perbandingan antar ayat dengan hadis nabi atau ayat lain, dan kajian tematik.