REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan menyatakan Anggota Komisi II DPR RI periode 2009-2014, Miryam S. Haryani mengaku ditekan oleh rekan-rekannya dari komisi III DPR RI sebelum diperiksa penyidik di kantor KPK pada 1 Desember 2016.
Novel mengatakan demikian dalam persidangan keempat kasus KTP-El, di PN Tipikor Jakarta, Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (30/3). Dua penyidik selain dia, Ambarita Damanik dan Irwan Siswanto turut dihadirkan dalam sidang tersebut. Kehadiran mereka untuk membuktikan pernyataan Miryam bahwa telah terjadi penekanan terhadap dirinya oleh penyidik KPK.
"Saat itu saksi (Miryam) saat diperiksa pertama kali, cerita tentang ancaman yang datang kepada dirinya," tutur Novel menjelaskan awal mula pemeriksaan pertama terhadap Miryam.
Namun, ancaman yang dirasakan Miryam ini, kata Novel, tidak dimasukkan ke dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) karena tentu akan membahayakan sekaligus merugikan Miryam.
"Saksi (Miryam) diancam itu tidak masuk dalam BAP. Jadi konteks itu tidak tertuang dalam BAP karena saksi (Miryam) akan resisten. Jika itu dituangkan dalam BAP, karena itu merugikan saksi maka kami nggak melakukan itu," kata dia.
Di persidangan, Novel mengatakan apa yang disampaikan Miryam kepada penyidik di KPK dalam pemeriksaan pertama. Novel menuturkan Miryam memang telah mengetahui akan dipanggil KPK sebulan sebelum waktu pemeriksaan pertama. Miryam mengetahuinya dari rekan-rekan anggota dewan yang lain.
Kemudian, kata Novel, Miryam disuruh anggota dewan dari komisi III saat ini, untuk tidak mengatakan fakta sebenarnya terkait penerimaan dan pendistribusian uang korupsi KTP-El itu.
"Dia disuruh oleh anggota DPR, disebutnya komisi 3, untuk tidak mengakui fakta-fakta perbuatan menerima dan membagi uang itu. Itu diminta. Bahkan kurang lebihnya, yang saya ingat, yang bersangkutan (Miryam) kalau sampai ngaku akan dijeblosin, kurang lebih begitu," kata dia.