REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Yusron Razak menilai, ideologi yang disebut-sebut bertentangan dengan Pancasila dari sebuah organisasi massa itu masih merupakan wacana.
Hanya saja, kata dia, jika ideologi bertentangan tersebut diperjuangkan secara kekerasan apalagi sampai mendeklarasikan anti-Pancasila, maka mereka benar ingin mengubah dasar ideologi negara.
Sebelumnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kini tengah ramai diperbincangkan publik menyusul tujuan organisasi itu yang disebut ingin mendirikan khilafah. HTI pun dianggap ingin mengganti dasar ideologi negara.
Menurut Yusron, gerakan HTI memang sudah berkiprah cukup lama. Tetapi mengapa menjadi fenomenal belakangan ini lantaran organisasi tersebut menjadi besar. Berikut juga diikuti pro kontra di masyarakat. "Sebenarnya muncul juga di Timur Tengah, Mesir," kata dia.
Terkait gerakan ini, UIN tak mau langsung asal melarang satu pemahaman. Menurut Yusron, sebuah kampus lazimnya membebaskan kegiatan berwacana. Kampus memberikan kebebasan berpikir apakah itu pemikiran kiri, kanan hingga ekstrem.
Dia mengatakan organisasi HTI secara resmi tidak masuk ke dalam kampus. Hanya, individu-individu yang simpatik alias simpatisan HTI berjumlah cukup banyak. Yusron mengklaim UIN Jakarta melarang membawa bendera, simbol organisasi nonresmi kampus ke dalam kampus.
Baca juga, Mabes Polri Ingatkan HTI Agar tak Serukan Ideologi Khilafah.
"Tidak boleh HTI masuk ke dalam kampus. Kita ada tim pembina yang memonitor seluruh kegiatan kampus apakah konteks anti-Pancasila atau bukan, jadi kita masukkan pembina dalam kegiatan mahasiswa," ujarnya.
Ia menyebut kampus tidak punya aturan melarang diskusi. Terkecuali apabila mahasiswa berwacana tentang ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, maka perlu ada mekanisme yang mengawasi itu.
"Kegiatan berwacana di kampus itu kan bebas, kalau merujuk penggantian ideologi negara, tidak boleh, tapi kan kita tidak boleh menyebut hei HTI kamu tidak boleh, tidak Pancasialis, intinya kita jangan anarkis, ini yang penting dibicarakan bagaimana agar wise, bijak menghadapi, sehingga tidak menggangu keutuhan NKRI," kata Yusron.
Namun ada lagi fenomena yang menarik, kata dia, bahwa ketika Islam dipandang non-NKRI, para priai, santri, semua bersatu. Meski, secara pemahaman keagamaan mereka berbeda. Ia menyebut, tidak adil jika Islam dianggap tidak NKRI.
Menurut dia, diperlukan adanya penanganan oleh pemerintah melalui koridor hukum. Ia mengkhawatirkan mudahnya saling menjustifikasi juga justru akan menimbulkan chaos.