Senin 08 May 2017 10:36 WIB

MUI: Moral Hakim Jadi Penentu dalam Vonis Ahok

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Majelis Hakim dalam persidangan kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Majelis Hakim dalam persidangan kasus penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, Abdul Chair Ramadhan mengatakan peranan moral hakim sangat menentukan dalam memutus kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), secara adil.

"Apa yang dikehendaki oleh moral sudah pasti mengandung kebaikan. Kebaikan adalah satu haluan dengan keadilan. Konkretisasi hukum dalam putusan Hakim identik dengan moral dalam mewujudkan keadilan," ujarnya, Senin (8/5)

Menurutnya Majelis Hakim harus berani menerobos paradigma positivistik,(berpandangan aspek moral tidak diperhitungkan dalam hukum, red). Yakni hukum dengan menggunakan metode penafsiran yang lebih holistik (menyeluruh) dan filosofis.

"Intinya hakim harus membuka dirinya dalam menghadapi kebuntuan teks-teks hukum," katanya.

Pada perkara Ahok, jelas Abdul Chair, kebuntuan yang terjadi adalah sengaja telah disiasati. Diakui memang ada kebuntuan karena ketidakjelasan teks dalam rumusan pasal. Teks dimaksud antara lain menyangkut perihal niat pada penjelasan Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965. Perihal niat menurut Ahli Hukum Pidana yang dihadirkan oleh penasehat hukum Ahok harus dibuktikan.

Disini Hakim harus mengedepankan keadilan hukum yang tidak lagi semata-mata harus identik dengan teks pasal suatu undang-undang.  Bahkan menurut pendapat banyak ahli ternama (Hazewinkel Suringa,  Simons, van Hamel, Zeverbegen, termasuk Vos), mengatakan niat adalah identik dengan kesengajaan.

Walaupun ada yang membedakan antara niat dan kesengajaan, namun ada kesepakatan jika niat sudah ditunaikan dalam tindakan nyata, maka niat telah berubah menjadi kesengajaan.

Perlu dipahami bahwa niat dalam KUHP dimasukkan dalam unsur percobaan sebagaimana diatur pada Pasal 53 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 54. Jadi bukan pada delik yang sudah selesai in casu perkara Ahol.

"Dengan demikian, perihal niat tidak perlu dibuktikan, cukup kesengajaan saja," ujarnya.

Selama ini, menurutnya, yang selalu didalilkan oleh penasehat hukum Ahok, bahwa pengertian golongan yang dimaksudkan pada Pasal 156 KUHP tidak termasuk golongan penduduk yang berdasarkan agama juga harus ditolak oleh Majelis Hakim.

Ia menilai pendapat demikian bermuatan paham positivistik. Pembagian golongan penduduk dimasa kolonial memang mengacu kepada Pasal 163 Jo Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) yakni Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Bumi Putera dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk masing-masing golongan.

"Penggolongan penduduk tersebut pasca Indonesia merdeka tidak berlaku lagi," tegasnya.

Sebab, ketentuan penggolongan penduduk dimasa kolonial bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Terlebih lagi saat ini kita sudah memiliki Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Maka menyikapi akan diputuskannya perkara BTP, tentu publik harus dapat menerima apapun putusan Majelis Hakim, dengan catatan sebagai sebuah kenyataan (sein). Namun hukum yang tidak adil bukanlah sekedar hukum. Masyarakat akan menilai apakah keadilan dan hukum itu dapat dipertemukan atau sebaliknya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement