Rabu 10 May 2017 00:40 WIB

Kejaksaan Agung Tunggu Pengajuan Pembubaran HTI

Rep: Mabruroh/ Red: Bayu Hermawan
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo (tengah) mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (12/4).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo (tengah) mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (12/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memutuskan menempuh jalur hukum dalam pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun permintaan pembubaran itu belum dilayangkan kepada Kejaksaan Agung.

Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan belum tahu kapan akan mengajukan rencana pemerintah membubarkan HTI ke pengadilan. Alasannya karena saat ini pihaknya masih menunggu permintaan tersebut.

"Kita tunggulah ini kan kejaksaan menunggu permintaan, prosesnya seperti itu, kita hanya sebagai akses untuk memintakan pembubaran ke pengadilan," ujar Prasetyo saat dihubungi di Jakarta, Selasa (9/5).

Menurutnya, Kejaksaan tidak serta merta langsung mengambil sikap sendiri dalam polemik pembubaran HTI ini. Kejaksaan kata dia, akan menginventarisir bukti-bukti pelanggaran seperti apa yang disangkakan dan jenis pelanggaran apa yang dilanggar. 

"Terhadap akibat dan kesalahan seperti apa ini yang nanti mengumpulkan bukti-bukti itu dari pembina ormas ya itu tentunya Kemendagri dan Kumham," jelasnya.

Dalam pembahasan awal kata dia, kajian-kajian mengenai keberadaan HTI dan sistem dakwahnya yang menyerukan khilafah ini memang Kejaksaan ikut hadir. Bahkan dalam kajian itu kata dia, banyak juga melibatkan lembaga-lembaga lain.

"Ditahap-tahap awal kita membahas bersama, mendengarkan apa-apa yang indikasi adanya pelanggaran yang cenderung membahayakan itu, setelah itu baru kemudian kesimpulan langkah-langkah apa yang akan dilakukan," katanya.

Prasetyo mengatakan, pembubaran ini mungkin akan menimbulkan masalah-masalah baru namun itulah risikonya. Dan Pemerintah masih kata Prasetyo, memilih membubarkan karena dianggap lebih kecil risikonya dibandingkan kehilangan Indonesia.

 

"Risiko tetap ada, resiko kita ambil yang paling kecil. Sekarang kalian pilih mana, negara kita bubar, berubah, Pancasila menjadi tidak ada, UUD 45 diganti bahkan diganti dengan khilafah, mana kita pilih?" tanya Prasetyo.

Terakhir dia menambahkan, bahwa paham-paham yang dianggap membahayakan bagi keutuhan NKRI perlu untuk diwaspadai. Bahkan jika sudah dianggap di luar batas toleransi maka perlu untuk dilakukan penindakan.

"Kalau faham-faham yang cenderung sudah bermaksud mengganti Pancasila atau bahkan menghilangkan Indonesia dari peta dunia ini tentunya harus ditindak," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement