REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyusul Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus penistaan agama mengajukan banding atas putusan Hakim, pengamat hukum asal Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, hal tersebut merupakan cermin penegakan hukum yang sudah diintervensi. "Inilah cermin dari penegakan hukum yang sudah diintervensi oleh kekuasaan politik," ujarnya saat dihubungi Republika.co,id, Senin (15/5)
Abdul Fickar mengatakan, JPU dengan posisi subjektifnya seharusnya mewakili kepentingan umum, utamanya masyarakat korban. JPU harus punya kewajiban menuntut seorang sebagai pelaku pidana dengan dakwaannya.
Akan tetapi, kata dia, ketika pengadilan Majelis Hakim memutuskan sesuai dakwaan JPU, akan terlihat aneh ketika JPU justru malah mengajukan banding. "Kok banding, ini logika hukum macam apa? kalau tidak ada kepentingan lain," jelasnya.
Fickar menjelaskan, jika Jaksa hanya berkeyakinan yang terbukti pasal 156 KUHP yakni penistaan terhadap golongan. Namun, Jaksa justru tidak mengajukan dakwaan tunggal dan mendakwa dengan dua pasal 156 dan 156a KUHP. "Karena itu, ketika pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan bukti yang menimbulkan keyakinan bahwa Terdakwa menista agama (psl 156a) Jaksa (Agung) sepertinya kebakaran jenggot memerintahkan untuk banding dengan alasan SOP, ini logika hukum macam apa, dan benar-benar melawan akal sehat," ujarnya.