REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sikap Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang ikut menyampaikan banding atas vonis dua tahun penjara Basuki Tjahaja Purmana (Ahok) cukup mengherankan banyak pengamat. Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Mudzakir mengatakan dalam dakwaan yang akhirnya menjadi tuntutan jaksa, Ahok telah dianggap terbukti pelanggaran pasal 156 KUHP. Namun hakim memandang telah pasal yang 156a juga telah terbukti.
"Dua pasal ini sudah diajukan jaksa sebagai pasal dakwaan. Artinya hakim memutuskan bukan karena tindak pidana lain, tapi karena tindak pidana yang telah didakwakan oleh JPU, tapi kok ikut banding," kata Mudzakir kepada Republika.co.id, Senin (15/5).
Dan ia yakin hakim telah memimpin persidangan dengan baik, serta proses pembuktian atas semua yang telah didakwakan JPU. Sayangnya jaksa yang menyimpulkan 156 sedangkan terdakwa dan penasihat hukum menyatakan tidak terbukti.
Kalau hakim hanya mengikuti kehendak jaksa, menurutnya, buat apa ada pembelaan. Begitu juga sebaliknya kalau hakim hanya mengikuti keinginan terdakwa buat apa ada jaksa. Artinya jaksa dan terdakwa melalui penasihat hukumnya masing-masing membuat kesimpulan, sedangkan kesimpulan hakim itu di tengah-tengah antara keinginan dakwaan jaksa dan keinginan bebas terdakwa.
Menurutnya, hakim bekerja selalu berdasarkan prinsip di antara dua kubu ini, dan mana yang sesuai dengan keinginan hakim. Kalau proses obyektifikasi hukum sesuai dengan keinginan terdakwa, kata dia, bisa diputus bebas atau ringan. sedangkan kalau proses hukum hasilnya sesuai dengan keinginan jaksa, tentu harus didukung.
"Tapi kalau kedua-duanya tidak sesuai keinginan jaksa atau terdakwa, padahal sudah proses obyektifikasi hukum lengkap dengan barang bukti, maka hakim boleh mengambil keputusan sendiri," terang Mudzakir.