REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia Syamsuddin Alimsyah, menolak rencana penambahan alokasi jumlah 19 kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI melalui revisi RUU Pemilu yang sedang bergulir sekarang. Bagi Kopel, selain karena jumlah kursi tidak berkorelasi langsung dengan kinerja DPR selama ini yang buruk bahkan banyak terjerat kasus korupsi, juga karena penambahan kursi tersebut dipastikan akan membebani keuangan negara di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit. Termasuk masih banyaknya fasilitas publik yang tidak layak.
Berdasarkan catatan Kopel, sekarang ini saja program wajib belajar 12 tahun yang dicanamkan Presiden melalui RPJMN masih sulit terwujud. Salah satunya karena faktor infrastruktur pendidikan yang tidak tersedia bahkan sebagian besar sudah tidak memadai.
Dari 1,8 juta ruang kelas yang tersedia, Syamsuddin mengatakan, sekitar 72 persen dalam kondisi yang sudah rusak. Bahkan sebagian sudah tidak layak pakai. "Belum lagi jutaan anak yang selama ini terpaksa harus belajar dalam ruang yang disekat atau bahkan di teras sekolah karena fasilitas ruang kelas yang tidak tersedia," terang Syamsuddin, dalam siaran persnya, Selasa (30/5).
Bukan hanya itu, berdasarkan data Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), mencatat saat ini ada 120 juta atau setara 47 persen penduduk kita yang belum memiliki sanitasi terutama jamban yang layak. Begitu pula, terdapat 95 juta warga atau setara dengan 37 persen penduduk Indonesia kesulitan akses air bersih. "Seharusnya persoalan-persoalan pelayanan dasar di atas menjadi pertimbangan utama DPR dalam menyusun sebuah kebijakan. Kepekaan sosial menjadi penting bagi seorang wakil rakyat. Bukan sebaliknya menjadi buta karena pengaruh nafsu kekuasaan," tambah Syamsuddin.
Dia menjelaskan, sekarang ini sepertinya perlu gerakan ajakan melawan lupa. DPR RI perlu dingatkan lagi dengan peristiwa tahun 2016 lalu, pemerintah terpaksa melakukan pemangkasan anggaran hampir di semua lembaga kementrian karena kondisi keuangan negara saat itu. Salah satu korbannya adalah dana pendidikan Rp 60,8 triliun yang harus dipangkas.