REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa penuntut umum (JPU) KPK tidak mempertimbangkan pencabutan berita acara pemeriksaan (BAP) mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi KTP-elektronik (KTP-el). "Meskipun Miryam S Haryani dalam persidangan mencabut seluruh keterangannya sebagaimana diuraikan dalam BAP, penuntut umum sama sekali tidak mempertimbangkan pencabutan BAP tersebut," kata JPU KPK Riniyati Karniasih di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (22/6).
JPU menyebutkan bahwa pencabutan BAP Miryam tanpa disertai alasan yang sah dan logis. "Bahwa pemeriksaan perkara pidana pada tahap persidangan bertujuan untuk menemukan kebenaran materiil. Oleh karena itu, setiap orang yang menjadi saksi atau terdakwa bebas memberikan keterangan namun tidak berarti bebas memberikan kebohongan sehingga wajar jika pembentuk undang-undang mengualikasikan pemberian keterangan bohong sebagai tindak pidana. Berdasarkan hal itu pula, penuntut umum memohon agar majelis hakim juga tidak pertimbangkan pencabutan keterangan dari Miryam S Haryani tersebut," kata jaksa Riniyati.
Alasan ketiga adalah pencabuatan BAP yang disampaikan Miryam S Haryani di antaranya karena adanya tekanan dari peyidik telah terbantahkan dengan adanya keterangan penyidik KPK, yaitu Ambarita Damanik, MI Susanto, dan Novel. Barang bukti berupa video berupa rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani serta tulisan tangan Miryam yang pada pokoknya berisi keterangan Miryam mengenai perbuatannya mendistribusikan uang ke anggota Komisi II DPR.
"Keempat bahwa keterangan Miryam S Haryani bertentangan dengan keterangan Diah Anggraeni, Josep Sumartono dan keterangan para terdakwa yang menyatakan bahwa Miryam S Haryani telah menerima uang dari terdakwa II terkait dengan KTP-el sebesar 1,2 juta dolar AS," ujar jaksa Riniyati.
Alasan kelima, pencabuatan BAP Miryam diduga karena adanya arahan pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam perkara KTP-el. "Hal ini diperkuat dengan ditemukannya bukti yang cukup atas perbuatan Markus Nari menggerakkan Miryam untuk mencabut BAP. Karenanya, pada 30 Mei 2017, KPK menetapkan Markus Nari sebagai tersangka dalam tindak pidana menghalangi jalannya penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan, yaitu menggerakkan Miryam S Haryani untuk mencabut BAP," ungkap Riniyati.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, jaksa meminta agar pencabuatan BAP Miryam dikesampingkan. "Sejalan dengan hal itu, penuntut umum meminta kepada majelis hakim untuk tidak mempertimbangkan pencabutan BAP Miryam S Haryani dan tetap menggunakan keterangan Miryam yang diberikan di depan penyidik sebagai alat bukti yang sah," kata jaksa menegaskan.
Dalam perkara ini terdakwa I, yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dituntut tujuh tahun dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp 2,248 miliar serta 6.000 dolar Singapura subsider dua tahun penjara.
Sedangkan, terdakwa II mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dituntut lima tahun penjara. Juga ditambah denda sebesar Rp 400 juta subsider enam bulan serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 500 juta subsider satu tahun penjara.
Keduanya dinilai terbukti bersalah berdasarkan dakwaan kedua dari Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP yaitu menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp 2,3 triliun.