Selasa 11 Jul 2017 20:18 WIB

Pengamat: UU Pemilu Lama tak Relevan untuk Pemilu 2019

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Pengamat Politik Siti Zuhro.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Pengamat Politik Siti Zuhro.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengingatkan pemerintah tidak hanya memikirkan kepentingan sesaat berkaitan sikapnya di Rancangan Undang-undang Pemilu. Hal ini disampaikannya menyusul sikap pemerintah yang akan menarik diri dari pembahasan atau kembali ke Undang-undang Pemilu lama jika besaran presidential threshold tidak 20-25 persen.

"Kita civil society harus mengatakan kepada DPR dan pemerintah jangan terkotak-kotak hanya kepentingan sesaat dan jangan dirumuskan RUU Pemilu ini hanya untuk tarikan sesaat karena kita yang akan merugi," ujar Siti Zuhro di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (11/7).

Menurutnya, jika pemerintah dan DPR tetap saling bersikeras mengedepankan egonya demi kepentingan masing-masing, maka yang menjadi korban adalah masyarakat Indonesia. Ia menilai, pemerintah dalam mempertahankan pendapatnya juga harus disertai alasannya yang kuat.

Sementara alasan pemerintah yang menilai besaran presidential threshold 20-25 persen demi menjaga kualitas demokrasi dan menstabilkan keberlangsungan pemerintahan presiden juga tidak relevan.

 

"Itu adalah kepentingan sesaat, kepentingan jangka pendek. Kita tidak boleh terfokus pada kepentingan sesaat saja tapi kepentingan Indonesia harus berdurasi panjang. Jangan berpikir ini untuk 2019 saja tapi paling tidak sampai 2045 mendatang," ujar Zuhro.

Begitu pun opsi kembali ke Undang-undang Pemilu lama juga tidak relevan dengan pelaksanaan Pemilu serentak 2019 mendatang. Sebab, UU Pemilu sebelumnya belum mengakomodir berbagai hal yang dibutuhkan dalam Pemilu serentak.

"Kalau mengacu pada (UU Pemilu) 2014 lho ini 2019, after five years lho, apa yang terjadi sudah banyak perubahan. Jadi kebutuhan pemilu lalu dengan sekarang sudah nggak bisa," ujarnya.

Karena ia berharap, kemungkinan deadlock pembahasan RUU Pemilu tidak terjadi. Karenanya, baik DPR dan pemerintah harus menuntaskan komitmennya agar dalam pembahasan mengedepankan kepentingan masyarakat banyak.

"Sebetulnya deadlock ini untuk siapa sih, kalau memang deadlock hanya kepentingan untuk segelintir pihak untuk elit tertentu dan sebagainya, mestinya kita juga harus luruskan, jangan hanya karena memang ada semacam konstreling yang diciptakan oleh kelompok tertentu," jelasnya.

Pemerintah mengambil ancang-ancang tidak meneruskan pembahasan Rancangan Undang-undang Pemilu atau kembali menggunakan Undang-undang Pemilu lama. Hal ini jika pansus pemilu dan pemerintah tidak menemui satu kesepakatan musyawarah mufakat berkaitan poin ambang batas pengajuan calon presiden (presidential threshold).

Menteri Dalam Negeri Tjahjo mengungkapkan hal tersebut pasca kembali ditundanya pengambilan keputusan tingkat I RUU Pemilu untuk ke sekian kalinya.

"Menerima keputusan hari Kamis, karena masih ada masalah yang masih krusial di bawa paripurna untuk diambil keputusan. Atau pemerintah mengembalikan ke UU Pemilu yang lama, toh sama saja, nggak ada perubahan," ujar Tjahjo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Senin (10/7) malam.

Opsi tersebut ditempuh lantaran Pemerintah tetap menginginkan seluruh poin isu krusial diputus secara musyawarah mufakat. Sementara, dari keseluruhan pasal di RUU Pemilu yang kini dibahas, diketahui poin isu presidential threshold tak kunjung menemui titik temu antara fraksi-fraksi dan pemerintah.

Pemerintah bersikeras dengan besaran 20 kursi DPR dan 25 perolehan suara sah nasional, sementara fraksi terbagi menjadi tiga kubu yakni pendukung 20-25 persen, fraksi pendukung presidential threshold ditiadakan atau nol persen dan fraksi jalan tengah yakni 10-15 persen.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement