REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2017 tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas) dianggap sebagai keputusan politik untuk mengendalikan perilaku politik Ormas. Nantinya, Ormas-Ormas mendukung pemerintahan atau minimal tidak menjadi kekuatan oposisi.
"Dengan perkataan lain, Perppu itu merupakan instrumen kekerasan administratif terhadap Ormas sehingga, tidak menjadi oposisi terhadap eksistensi dan kebijakan Politik saat ini," ujar Pengamat Politik Muchtar Effendi dari Network for South East Asian Studies (NSEAS) kepada Republika.co.id, Kamis (13/7).
Menurutnya, dengan Perppu ini, pemerintah tidak perlu menunggu atau bergantung pada proses peradilan untuk membubarkan Ormas. Pemerintah yang memberi izin atau legalitas sekaligus yang mencabutnya.
"Alasan pembubaran Ormas semata-mata dibuat pemerintah, bukan para hakim di pengadilan. Dari perspektif demokratisasi, keputusan politik Perppu ini bertentangan dengan prinsip partisipatif dan penegakkan hukum," ujar dia.
Dengan begitu, kata Muchtar, kebenaran dan obyektivitas hanya ada pada Pemerintah yang berkuasa. Pemerintahlah penentu baik-buruk serta melanggar atau tidak Ormas dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
"Intinya, Perppu ini sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi," kata Muchtar.
Soal ancaman hukuman seumur hidup yang ada pada Perppu tersebut, Muchtar menyebutkan, ancaman hukuman tersebut tidak rasional, tidak realistik, dan tidak relevan.
Baca: Pembubaran Ormas Lewat Pengadilan Dinilai Masih Relevan