Sabtu 15 Jul 2017 09:19 WIB

Perppu Ormas Rusak Tatanan Hukum dan Ancam HAM

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Situs yang menyerukan radikalisme. Ilustrasi
Foto: AP
Situs yang menyerukan radikalisme. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perppu No 2/2017 tentang organisasi kemasyarakatan (Ormas) dinilai merusak tatanan hukum karena mekanisme pembubaran Ormasnya. Perppu tersebut pun dianggap mengancam hak asasi manusia (HAM).

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Totok Yulianto mengatakan perppu itu menghapus mekanisme peradilan di bawah kekuasaan yudikatif. Sebelumnya, mekanisme itu termuat dalam Pasal 63 sampai 80 UU Ormas 17/2013.

"Artinya, pemberlakuan sanksi dan pembubaran ormas tidak lagi diajukan ke forum peradilan namun langsung secara sepihak dilakukan pemerintah," ujar dia dalam siaran pers yang diterima Republika, Sabtu (15/7).

Menurut Totok, mekanisme tersebut merusak tatanan hukum dan konstitusi yang memisahkan kekuasaan politik. Dalam hal ini, kekuasaan politik lembaga yudikatif atau peradilan dan eksekutif atau pemerintah.

Dia menerangkan produk kebijakan ijin pendirian dan/atau sanksi serta pembubaran ormas bukanlah jenis kebijakan eksekutif yang mutlak. Dia menerangkan kekuasaan eksekutif yang menguat secara absolut dalam konteks ini bertentangan dengan semangat reformasi.

"Semangat reformasi mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan menolak absolutisme eksekutif yang mengarah pada otoritarian seperti rezim Orde Baru," kata dia.

Alih-alih melindungi warga negara, Totok juga menyebutkan, Perppu Ormas ini justru mengancam HAM. Ancaman tersebut terkait dengan kebebasan berkumpul, berorganisasi dan berekspresi yang merupakan hak konstitusional yang dijamin Pasal 28 E UUD 1945.

Konstitusi menjamin setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. "Misalnya pada Pasal 82A Perppu Ormas yang mengatur tentang ancaman sanksi pidana kepada siapapun yang menjadi pengurus dan/atau anggota ormas, baik langsung maupun tidak langsung, yang melakukan tindakan permusuhan berbasis SARA," kata dia.

Dia menambahkan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana dijamin Pasal 28 E dan 29(2) UUD 1945 juga dilanggar oleh perppu ini. Dengan adanya ketentuan 'penistaan agama' dengan ancaman minimal pidana lima tahun penjara.

"Padahal tidak pernah ada sebelumnya dan sudah terlalu eksesif pemidanaannya lewat pasal 156a KUHP maupun UU 1/PNPS/1965," kata Totok.

Karena itu, PBHI menyatakan menolak tegas Perppu Ormas karena kontra reformasi dan melanggar hak asasi. PBHI juga mendesak DPR RI untuk menolak Perppu Ormas dan tidak mengesahkannya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement