Senin 17 Jul 2017 12:25 WIB

Kapolri: Awalnya Kami tidak Minta Telegram Ditutup

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengungkap pada awalnya Polri tidak merekomendasikan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menutup domain name system (DNS) Telegram. Polri kata Tito, hanya meminta Kemkominfo menyampaikan kepada pihak Telegram agar memberi akses kepada Polri berkaitan dengan isu terorisme dan Keamanan negara.

Namun, menurut Tito, pihak Telegram diketahui tidak menanggapi permintaan akses tersebut. "Yang kita minta kepada Telegram bukan ditutup sebenarnya, tolong kami bisa diberi akses kalau sudah menyangkut urusan terorisme, keamanan, kami diberi akses untuk tahu siapa itu yang memerintahkan untuk ngebom atau menyebarkan paham radikal. Tapi nggak dilayani dan nggak ditanggapi, ya sudah tutup saja," ujar Tito, saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (17/7).

Tito mengatakan, pihak Telegram justru baru merespons saat pihak Kemkominfo telah memblokir aplikasi tersebut. Karenanya, sebagai upaya negosiasi pembukaan aplikasi tersebut, Tito menekankan, agar pihak Telegram memberi akses kepada pemerintah Indonesia khususnya Polri berkaitan dengan keamanan negara.

"Saya dengar pihak Telegram mau bernegosiasi, kalau dibuka fine tapi kita diberi akses untuk melacak kalau digunakan oleh kelompok teroris, yang kita batasi akses yang membahayakan keamanan negara," ujarnya.

Sebab, Tito mengungkap hasil temuan Polri dari Densus 88 ada 17 kasus yang terkait dengan penggunaan aplikasi Telegram dalam dua tahun terakhir. Mulai dari kasus Bom Thamrin, fenomena lonewolf, hingga bom Bandung yang paling terbaru.

Penggunaan aplikasi Telegram ini digunakan para pelaku teroris untuk berkomunikasi dalam upaya merakit, merencanakan dan latihan membuat bom. "Jadi latihan pun kalau dulu Dr azhari ngajarin murid membuat bom langsung sekarang tidak, langsung online, chat, Telegram salah satu favorit mereka sekarang ini karena satu. Ini bisa membuat namanya super group, bisa privat bahkan bisa masuk kelompok lain, member lain, tanpa ketahuan adminnya siapa, beda dengan WA group yang ada adminnya," ujar Tito.

Selain itu, aplikasi Telegram menjadi favorit juga karena jenis end to end encription sehingga tidak bisa disadap ditengah dan juga akunnya bisa tersembunyi. "Jadi tidak ketahuan nomornyanya tapi dia bisa cukup dengan menggunakan username, saling kontak chat to chat hanya dengan user jadi dia tidak ketahuan," ungkapnya.

Ia mengungkap itu pula yang membuat Polri sulit melacak pembicaraan rahasia berkaitan aksi terorisme di percakapan tersebut. "Kita nggak bisa men-track mereka nanti meledak di mana-mana, termasuk kasus kasus yang di mesjid Falatehan Blok M kemudian yang Bandung, kasus yang menyerang Polda Sumut itu menggunakan komunikasi ini dan bahkan yang ngajarin cara buat bom dan bahan doktrin radikal," ungkapnya.

Kementerian Komunikasi dan Informatika telah meminta Internet Service Provider (ISP) untuk melakukan pemutusan akses (pemblokiran) terhadap sebelas DNS milik Telegram pada 14 Juli 2017. Dampak dari pemblokiran ini adalah tidak bisa diaksesnya layanan Telegram versi web atau melalui komputer.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement