REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menyerahkan surat pemberitahuan penetapan tersangka Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (KTP-el). "Surat pemberitahuan pada tersangka Setya Novanto sudah kami sampaikan per tanggal 18 Juli 2017," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/7).
Febri menyatakan surat pemberitahuan penetapan tersangka itu sudah dikirim ke kediaman Setya Novanto yang berada di Jalan Wijaya XIII Nomor 19 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-el) tahun 2011-2012 pada Kemendagri.
Ketua KPK Agus Rahardjo di Gedung KPK Jakarta, Senin (17/7), saat mengumumkan penetapan Setnov sebagai tersangka menyatakan KPK menemukan bukti permulaan yang cukup. Setnov disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atas Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK juga baru saja menetapkan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Markus Nari sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-el 2011-2013 pada Kemendagri. Selain itu, KPK juga sudah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka dalam kasus yang diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-el.
Dalam perkara ini sudah ada dua orang yang menjalani sidang di pengadilan sebagai terdakwa, yaitu mantan Dirjen (Dukcapil) Kemendagri Irman. Dia dituntut tujuh tahun penjara dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp 2,248 miliar serta 6.000 dollar Singapura subsider dua tahun penjara.
Selanjutnya mantan Direktur PIAK Kemendagri Sugiharto yang dituntut lima tahun penjara ditambah denda sebesar Rp 400 juta subsider enam bulan. Serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp 500 juta subsider satu tahun penjara. Terdakwa lain adalah anggota DPR dari Fraksi Hanura Miryam S Haryani yang didakwa memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan KTP-el dan sudah dalam proses persidangan dengan pembacaan dakwaan pada 13 Juli 2017.