Senin 24 Jul 2017 19:27 WIB

Perppu Ormas Membahayakan Demokrasi

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
 Koordinator KontraS Yati Andriyani memberikan keterangan pers di Kantor KontraS, Jakarta, Selasa (9/5).
Foto: Republika/ Wihdan
Koordinator KontraS Yati Andriyani memberikan keterangan pers di Kantor KontraS, Jakarta, Selasa (9/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil menilai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dapat membahayakan kehidupan negara Indonesia yang menganut negara demokrasi dan penegakkan hukum. Perppu ini memungkinkan pemerintah membubarkan ormas apapun secara sepihak dengan berbagai alasan. 

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), yang termasuk dalam Koalisi Masyarakat Sipil, Yati Andriyani mengatakan penerbitan Perppu Nomor 2/2017 tentang Ormas tidak hanya dapat digunakan untuk kelompok ormas yang intoleran. "Tetapi juga dapat menyasar kepada kelompok ormas lainnya karena pemerintah dapat sepihak membubarkannya dengan berbagai alasan," kata dia pada konferensi pers yang digelar di kantor KontraS, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Senin (24/7).

Yati menjelaskan, Perppu Ormas bukanlah aturan yang khusus mengatur tentang radikalisme dan ekstremisme. Perppu ini mengatur seluruh Ormas, baik itu berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

"Hal itu terlihat dari judul Perppu Ormas, substansi di dalam Perppu Ormas, dan alasan-alasan pembubaran Ormas," ujar Yati. 

Yati menjelaskan memungkinkan pemerintah membubarkan ormas secara sepihak karena menghapus norma yang mengatur mekanisme peradilan dalam pembubaran ormas. Tidak hanya itu, aturan ini juga memberi kewenangan terhadap pemerintah untuk memberikan sanksi pidana bagi anggota ormas yang dianggap melanggar. 

Ia menyebutkan ancaman pidana dalam perppu yakni pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun. Koalisi Masyarakat Sipil ancaman penjara ini menjadi persoalan yang paling serius terkait ancaman terhadap demokrasi. Dia menerangkan UU 17/2013 tentang Ormas tidak mengatur sanksi pidana, melainkan hanya sanksi administratif. 

Yati menjelaskan sanksi administratif ini menunjukkan penghormatan pada prinsip due process of law atau proses penegakan hukum yang adil. Prinsip tersebut sangat fundamental dan penting dalam kehidupan berdemokrasi. 

"Hal itu untuk menghindari terjadinya kesewenang-wenangan dalam tindakan yang berpotensi menimpa organisasi-organisasi lain di masyarakat," ujar Yati.

Yati tidak menampik keberadaan kelompok yang mengembangkan sikap intoleransi. Dalam kenyataannya, memang tidak semua orang dan kelompok di masyarakat menggunakan ruang kebebasan itu, dengan sikap kewargaan untuk saling menghormati perbedaan dan keragaman. 

Bahkan, ia menambahkan, sejumlah ekspresi politik dan manifestasi kegiatan keorganisasiannya justru dibarengi dengan berbagai tindak kekerasan. Ada juga yang melawan prinsip-prinsip penting dalam negara hukum dan demokrasi serta mengganggu sendi-sendi dasar negara dan konstitusi.

Yati mengakui negara perlu menindak ancaman dari kelompok intoleran. Koalisi Masyarakat Sipil pun mendukung sepenuhnya upaya-upaya negara untuk menindak berbagai macam kelompok intoleran. 

Namun, ia mengatakan, hal itu harus tetap dilakukan dalan koridor negara demokrasi dan negara hukum. Pembubaran ormas secara sepihak dan ancaman pidana terhadap anggota ormas yang melanggar justru tidak mengindahkan prinsip penegakkan hukum. 

"Pandangan kami, sebenarnya pemerintah tidak perlu membentuk Perppu Ormas karena pengaturan tentang Ormas sudah diatur dalam UU Ormas No. 17/2013. Di dalam UU tersebut, pemerintah dapat membubarkan Ormas melalui mekanisme peradilan jika dianggap melanggar UU Ormas," kata dia. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement