REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua menyatakan saat ini publik perlu menunggu hasil kajian dari Komisi Yudisial (KY) terhadap hakim tunggal praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Abdullah mengatakan, kajian KY itu tentu untuk melihat apakah ada pelanggaran etika yang diperbuat Hakim tunggal Cepi Iskandar yang memimpin sidang kasus penetapan tersangka Setnov. Juga, untuk mengetahui apakah putusan yang diambil Hakim Cepi sesuai dengan KUHAP atau referensi aturan perundang-undangan yang lain.
"Kita serahkan kepada Komisi Yudisial untuk mengkaji apakah putusan hakim itu sesuai KUHAP dan aturan lainnya atau tidak, atau memang di sini ada persoalan integritas," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (1/10).
Menurut Abdullah, jika temuan KY memang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran etika atau kejanggalan yang dilakukan oleh Hakim, maka putusan praperadilan Setnov bisa dijadikan yurisprudensi untuk perkara yang lain.
Sebaliknya, lanjut Abdullah, bila KY menemukan adanya pelanggaran etika, kejanggalan ataupun keanehan dalam putusan yang dibuat Hakim Cepi, putusan praperadilan Setnov tidak bisa dijadikan yurisprudensi.
"Kalau ada pelanggaran, kejanggalan, keanehan, maka tidak bisa dijadikan yurisprudensi," kata dia.
Abdullah juga menyinggung soal pertimbangan Hakim tunggal Cepi yang menyatakan alat bukti yang sudah digunakan pada perkara seseorang, tidak bisa digunakan lagi untuk perkara orang lain. Dia pun tidak mengerti apa yang membuat Hakim tunggal Cepi dalam pertimbangannya menyatakan seperti itu.
Padahal, selama ada relevansi, alat bukti perkara seseorang bisa digunakan untuk perkara orang lain. "Itu yang saya tak paham, selama ini padahal alat bukti yang sudah digunakan untuk (perkara) seseorang, bisa digunakan untuk orang lain kalau itu ada relevansinya," ucap dia.