REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembentukan Detasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri tidak bisa diserupakan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika kewenangan Densus Tipikor serupa dengan KPK, maka kerja dua institusi itu akan saling tumpang-tindih.
Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan tumpang-tindih tersebut bisa terjadi karena KPK mempunyai Undang-undang tersendiri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. "Jika Densus akan dibentuk dengan menyerupai KPK, maka ada kendala pada dasar hukumnya. Jadi di UU-nya harus disesuaikan," kata dia kepada Republika.co.id, Jumat (13/10).
Selain itu, Fickar menambahkan, selama UU 30/2002 tentang KPK masih ada, maka Densus Tipikor nantinya tetap harus berkoordinasi dengan KPK. Apalagi, KPK memiliki kewenangan melakukan supervisi atas kasus yang ditangani penegak hukum lain, baik Polri ataupun Kejaksaan.
"Karena itu, harus diluruskan niatnya bukan untuk melemahkan atau membubarkan KPK," tutur dia.
Terlebih, Kejaksaan Agung menolak bergabung dengan Densus tersebut. Kondisi ini akan membuat Densus Tipikor berjalan dengan fungsi yang sebetulnya sama saja seperti biasanya. "Keberhasilan penuntutannya akan tergantung pada penuntut di Kejaksaan. Penanganan perkaranya, dengan mekanisme penanganan perkara biasa sebagaimana ditentukan KUHAP," ujar dia.
Polri tengah menyusun pembentukan Datasemen Khusus (Densus) Tindak Pidana Korupsi. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan keberadaan Densus ini tidak akan tumpang tindih dengan KPK. Polri akan tetap melaporkan kasus-kasus itu ke KPK. Densus ini tidak hanya fokus pada kasus-kasus besar. Misalnya, menangani persoalan sembako bersama dengan kementerian terkait untuk mengawasi gejolak harga pangan.