REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, ditolaknya Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo masuk ke Amerika Serikat patut dipertanyakan. Oleh karena itu, Hikmahanto mendukung langkah Pemerintah RI melalui Kementerian Luar Negeri RI meminta klarifikasi kepada Kedutaan Besar AS untuk Indonesia.
"Permasalahan ini, bila tidak ditanggapi secara tepat oleh Pemerintah AS akan berakibat pada hubungan Indonesia-AS," katanya di Jakarta, Ahad (22/10).
Hikmahanto mengaku heran dengan insiden yang menimpa Panglima TNI. Sebab, yang bersangkutan menerima undangan resmi dari mitranya, yaitu Panglima Angkatan Bersenjata AS Jenderal Joseph F Durford Jr.
Visa untuk Panglima TNI beserta istri dan delegasi yang hendak menghadiri acara Chiefs of Defense Conference on Country Violent Extremist Organization di Washington DC pun telah terbit. Keheranan Hikmahanto juga didasari pemberitahuan yang diterima Panglima TNI bukan melalui saluran resmi, melainkan hanya melalui maskapai penerbangan Fly Emirates yang akan ditumpangi.
"Pemerintah Indonesia, bila tidak mendapat klarifikasi atau klarifikasi tidak memadai dapat melakukan protes yang sangat keras. Bila perlu, memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk AS (Budi Bowoleksono) untuk berkonsultasi," kata Hikmahanto.
Nantinya, lanjut dia, bila AS juga tidak mengindahkan permintaan RI, pengusiran atau persona non grata terhadap diplomat AS di Indonesia dapat dilakukan. "Oleh karena itu, publik harus sabar dan tidak reaktif serta memberi kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan langkah-langkah menjaga kehormatan negara di mata negara lain," ujar Hikmahanto.
Lebih lanjut, dia mengapresiasi langkah Menlu RI Retno Lestari Priansari Marsudi yang akan meminta keterangan Wakil Dubes AS untuk Indonesia Brian McFeeters, Senin (23/10). Ini lantaran Dubes AS untuk Indonesia Joseph Donovan sedang berada di luar Jakarta.
Peneliti senior di Center for Strategic and International Studies Indonesia (CSIS) Evan Laksmana menilai, ditolaknya Panglima TNI masuk ke AS merupakan masalah yang sangat serius untuk hubungan bilateral kedua negara. Dia mengaku skeptis bahwa penolakan otoritas AS terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang kerap dituduhkan kepada petinggi militer Indonesia di masa lalu.
Sebab, penolakan masuk terjadi pada menit-menit terakhir. Tidak hanya itu, Panglima TNI juga telah berulang kali ke Negeri Paman Sam, terakhir kali pada Februari 2016.
"Tapi, saya tidak yakin bagaimana ini berlaku untuk Gatot yang pernah terlibat dalam operasi militer di Timor Leste. Tapi, saya tidak ingat apakah namanya masuk dalam penyelidikan selama periode tersebut atau akhir-akhir ini," ujar Evan dalam kicauan di jejaring sosial Twitter, Ahad (22/10).
Peneliti senior di Lowy Research Institute Aaron Connely menilai, insiden yang menimpa Panglima TNI adalah kekacauan administratif. "Jika ada masalah substantif yang mencegah dia masuk ke AS maka dia tidak akan diundang," katanya, seperti dilansir The Sydney Morning Herald, Ahad (22/10).
Namun, lanjut Connely, karena Panglima TNI telah membangun reputasi dalam mengidentifikasi masalah yang mengancam kedaulatan RI, situasi semacam ini dapat memperkuat posisinya.
Panglima TNI pun berulang kali menyebut bahwa AS maupun Australia sebagai ancaman untuk NKRI. Pada kuliah umum bertajuk "Mari Teladani Semangat Juang Pahlawan Kemerdekaan Menuju Indonesia Jaya" di Universitas Indonesia, Rabu 16 November 2016, Panglima TNI mempertanyakan langkah AS menambah personel militer dari 1.500 menjadi 2.500 di Darwin, Australia.
"Pertanyaannya, ngapain ke situ? Saya sebagai Panglima TNI boleh melihat hal itu sebagai ancaman," katanya. "Mengapa tidak di Filipina? Mereka (AS) memiliki basis di sana. Tidak masalah, tapi itu Darwin," lanjutnya. Saat itu, Panglima TNI juga meminta Australia untuk menghentikan perekrutan perwira Indonesia sebagai mata-mata.
"Dalam pidato publik, dia sering mendukung teori bahwa orang asing terlibat proxy war untuk melemahkan Indonesia," ujar pemerhati masalah Indonesia yang juga jurnalis senior The Straits Times John McBeth dalam kolomnya di Asia Times, bulan ini.
(Editor: Muhammad Iqbal).