REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi I DPR RI menyesalkan sikap penolakan Amerika Serikat terhadap Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Penolakan tersebut menjadi penghinaan diplomatik karena belum pernah terjadi sebelumnya. "Ada muatan administrasi. Dan kedua ada muatan politis. Tapi kita lihat nanti," kata Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin, Senin (23/10).
Dia mempertanyakan hal ini karena undangan resmi dan visa telah diperoleh Panglima TNI. Namun, tiba-tiba di tengah perjalanan dinyatakan Panglima TNI tidak diizinkan masuk. "Ini disesalkan mengapa ada perubahan yang mendadak," katanya.
Ia pun menyambut baik pemerintah, dalam hal ini Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, sudah mengirim surat penyesalan dan meminta penjelasan soal penolakan ini. "Apa langkah diplomatik yang akan ditempuh pemerintah terkait hal ini dan Komisi I menunggu sikap pemerintah AS," ujar Hasanuddin.
Politikus senior PDIP ini berharap masyarakat tidak terprovokasi dan menunggu sikap resmi dari pemerintah. "Kita tunggu saja dari pemerintah di sana. Saya tidak mau berandai-andai. Kita tunggu dengan sabar," katanya.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta penolakan tersebut tidak dianggap sederhana oleh Pemerintah Indonesia. Sebab, undangan Panglima TNI ke AS adalah resmi dari otoritas AS. "Jadi. enggak boleh dianggap sebagai persoalan teknis administratif, pasti ada masalah lain," ujar Fahri, Senin (23/10).
Karena itu, dia meminta persoalan ini tidak kemudian diselesaikan hanya melalui Kedutaan Besar AS untuk Indonesia. Namun, juga oleh pihak otoritas tinggi di AS, yakni pihak Kementerian Luar Negeri AS. "Untuk menyampaikan apa sebetulnya versi resmi dari Washington DC tentang kejadian ini," kata Fahri.
Menurut dia, harus dijelaskan secara resmi dan detail duduk perkara penolakan tersebut. Bahkan, kalau perlu melalui investigasi asal mula munculnya penolakan tersebut. Sebab, ia menduga hal ini berkaitan muatan politis menjelang tahun-tahun politik dalam negeri. Sehingga, menurut dia, pemerintah jangan terlalu puas dengan jawaban-jawaban administratif semata.
Ketua DPP PAN Yandri Susanto mengatakan, pimpinan DPR atau Komisi I DPR RI perlu memanggil duta besar AS untuk Indonesia guna meminta keterangan terkait penolakan AS terhadap Panglima TNI. "Amerika terlalu ceroboh. Dan itu sepatutnya tidak perlu terjadi. Itu pertanda kita memang belum terlalu dihargai oleh bangsa lain," kata Yandri.
Dia mengatakan, tindakan AS telah merendahkan Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia harus protes keras atas kejadian ini. Penolakan ini tidak bisa langsung dianggap selesai lantaran Panglima TNI sudah berangkat ke AS. Indonesia harus menunjukkan bahwa tidak bisa dianggap remeh oleh negara lain.
Menurut Yandri, Komisi I DPR perlu memanggil duta besar Amerika secara khusus untuk meminta keterangan. "Agendanya itu saja, panggil duta besar untuk memberi penjelasan kenapa Gatot Nurmantyo dicekal dan sempat terhambat terbang masuk ke wilayah Amerika Serikat," katanya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi mengatakan, pemerintah hendaknya tetap melakukan langkah-langkah diplomatik untuk mempertanyakan insiden ini kepada AS. Bobby mengatakan, penjelasan Pemerintah AS penting untuk menghindari miskomunikasi yang bisa menimbulkan konflik bilateral.
Apalagi, sudah mulai banyak yang mengaitkan kejadian ini seperti Perdana Menteri India Narendra Modi yang ditolak masuk ke AS pada zaman presiden Barack Obama. Modi ditolak masuk AS sejak 2005, sebelum akhirnya diundang Presiden Donald Trump di White House pada tahun ini.
Kendati demikian, Bobby mengatakan, bila hal tersebut hanya karena masalah administrasi dan Gatot Nurmantyo tetap bisa berangkat, diharapkan Panglima TNI tetap berangkat ke AS. Sebagai mitra strategis Indonesia, kata Bobby, hubungan yang baik dengan AS perlu tetap dipelihara. Menurut dia, jangan sampai Panglima TNI tidak jadi berangkat, meski masalah ini sudah selesai.
(Editor: Muhammad Iqbal).