REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyayangkan hasil rapat Paripurna DPR yang mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas) menjadi undang-undang. Padahal, LBH dan Koalisi Masyarakat Sipil berharap DPR menolak Perppu Ormas.
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqso mengaku kecewa dengan hasil rapat Paripurna DPR Selasa (24/10) hari ini. Ketukan Palu sidang atas pengesahan Perppu Ormas menjadi undang-undang seolah mengesahkan pula akan kemunduran demokrasi Indonesia.
"Pengesahan Perppu Ormas hari ini merupakan moment sejarah kemunduran demokrasi dan negara hukum di Indonesia," ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (24/10).
Ia melanjutkan, state heavy policy seperti Perppu Ormas, menurutnya akan berdampak pada Indonesia yang mengarah kepada negara kekuasaan bukan lagi negara hukum. Karena seolah-olah hak-haknya terampas terutama hak untuk berekspresi dan bersosialisasi.
"Hak asasi manusia, terutama hak untuk berekspresi, berkumpul, berasosiasi, dan bahkan hak untuk beragama menjadi semakin terancam dengan disahkannya perppu ormas menjadi UU," katanya.
Dalam sudut pandangnya, upaya negara dalam menindak ormas yang menganut paham radikalisme dan bersikap intoleran tentu merupakan sebuah keharusan. Pihaknya pun mendukung penuh upaya negara untuk menindak berbagai macam kelompok intoleran, sepanjang itu tetap dilakukan dalam koridor negara demokrasi dan negara hukum.
"Namun demikian (Perppu Ormas menjadi UU), Kami menilai justru dapat membahayakan kehidupan negara demokrasi dan negara hukum itu sendiri," kata dia.
Karena undang-undang tersebut bukan saja menyasar kepada kelompok yang intoleran tetapi juga dapat menyasar kepada kelompok-kelompok organisasi masyarakat lainnya. Dan pemerintah dapat sepihak membubarkannya dengan berbagai alasan.