Selasa 14 Nov 2017 20:32 WIB

Setnov Dipastikan tak akan Penuhi Panggilan KPK

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi.
Foto: Ronggo Astungkoro/Republkika
Kuasa hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Ketua DPR RI Setya Novanto, Fredrich Yunadi memastikan kliennya tidak akan memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diketahui, pada Rabu (15/11) penyidik KPK menjadwalkan pemeriksaan perdana terhadap Novanto sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP-elektronik (KTP-el).

"Kami hari ini sudah kirim surat tidak akan hadir," kata Yunadi saat dikonfirmasi, Selasa (14/11).

Yunadi menjelaskan, Novanto tak bisa hadir lantaran pihaknya saat ini sedang mengajukan Judical Review di Mahkamah Konstitusi terkait permohonan uji materi terhadap dua pasal dan dua ayat yang terdapat pada Undang-undang (UU) KPK. Fredrich berpegangan pada UU Dasar 1945, UU MD3, dan putusan Mahkamah Konstitusi No 76/2014 tentang hak imunitas dan perizinan pemanggilan anggota dewan kepada presiden.

"Kami sudah ajukan judical review di MK. Menunggu hasil keputusan dari judical review," tegasnya.

Ia pun menyamakan alasan Novanto dengan alasan para pimpinan KPK yang tak akan hadir bila dipanggil Pansus Hak Angket KPK untuk Rapat Dengar Pendapat di DPR RI lantaran masih menunggu hasil judical review di MK. "Kita dalam posisi yang sama," ucapnya.

Sementara Kabiro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan, sampai saat ini KPK belum menerima pemberitahuan ketidakhadiran Novanto untuk pemeriksaan besok. "Sejauh ini kami belum dapat pemberitahuan. Nanti kita lihat apakah besok datang atau tidak datang. Tapi saya kira ini seharusnya menjadi bentuk kepatuhan kita terhadap hukum. Kalau kemudian dipanggil oleh penegak hukum sebaiknya datang," ujar Febri.

Menurut Febri, alasan hak imunitas dan perlu adanya izin Presiden Joko Widodo tak beralasan berdasarkan hukum.  "Kita baca secara lebih lengkap UU MD3 tersebut, ada penegesan pengecualian izin tertulis presiden itu jika disangkakan melanggar tindak pidana khusus. Artinya klausul itu tidak bisa digunakan lagi," terangnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

(QS. Al-Baqarah ayat 258)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement