REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Muhammadiyah tengah merayakan milad ke-105 tahun. Dalam peringatan milad yang digelar di Kraton Yogyakarta, diberikan Muhammadiyah Award kepada tiga tokoh yang berkontribusi besar dalam kemajuan persyarikatan Muhammadiyah.
Mitsui Nakamura
Mitsuo Nakamura merupakan seorang Guru Besar Emeritus dari Chiba University di Jepang. Dari 1970 sampai 1972 Mitsuo tinggal di Kotagede Yogyakarta, melakukan riset antropologi tentang umat Islam Indonesia.
Hasilnya, sebuah buku disertasi di Cornell University Amerika Serikat pada 1976 berjudul The Crescent Arises Over the Banyan Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in a Central Javanese Town.
Dalam bahasa Indonesia buku itu diterjemahkan, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin: Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede Yogyakarta. Buku yang diterbitkan 1982 jadi salah satu referensi utama kajian pergerakan Islam Muhammadiyah di Indonesia.
Profesor Mitsuo secara tekun dan sabar melanjutkan riset tentang Muhammadiyah di Kotagede sampai 2010 dan menghasilkan buku. Judulnya, Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin:Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah di Kotagede (1910-2010).
Buku itu terbit tahun 2012 dalam bahasa Inggris, dan diterjemahkan pada 2017. Kecintaannya kepada Muhammadiyah membawanya untuk sering hadir dalam setiap Mukmatar Muhammadiyah.
Lebih dari 40 tahun Mitsuo Nakamura meneliti umat Islam Indonesia, khususnya Muhammadiyah. Ini merupakan dedikasi seorang antropologi, untuk Muhammadiyah dan bangsa Indonesia.
Achmad Roemani
Nama Roemani tersemat dalam sebuah rumah sakit, RS Roemani Muhammadiyah Semarang yang terletak di Jl Wonodri 22. Berdiri sejak 27 Agustus 1975, sebagai balai pengobatan dan Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA).
Setelah 42 tahun berjalan atas ridho Allah SWT dan kepercayaan masyarakat, RS Roemani Muhammadiyah jadi salah rumah sakit besar dan terkemuka di Semarang. Uniknya, Roemani bukan warga Muhammadiyah.
Roemani lahir pada 1927 di Desa Ngelo Wetan, Wijen, Demak, Jawa Tengah, putra seorang buruh tani bernama Djamrodji. Usai mencapai Kelas 2 Volkschool, Roemani muda merantau mencari kehidupan yang lebih baik.
Berbagai pekerjaan dijalani mulai dari kuli sampai pedagang. Akhirnya, ketekunan mengantarkannya jadi pengusaha sukses. Suatu ketika, sepulang menunaikan ibadah haji, dalam keadaan sakit ia bermimpi diminta memberi makan anak yatim.
Haji Roemani berpikir menyumbangkan empat mobil bak terbuka milknya. Namun, akhirnya Pak Haji, sapaan akrab Roemani, memutuskan untuk membangun rumah sakit dan dari situ biaya untuk anak-anak panti asuhan diusahakan.
H Achmad Roemani merupakan seorang pejuang veteran, anggota barisan Banteng Republik Indonesia berpangkat Kopral. Ia wafat pada 21 Deseber 1975, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang.
Sri Sultan Hamengku Buwono X
Sejarah membuktikan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat telah mendukung penuh persyarikatan Muhammadiyah. Di antaranya rekomendasi Sri Sultan Hamengku Buwono ketujuh, sehingga Muhammadiyah mendapat Rechtspersoon dari pemerintah Hindia Belanda.
Hadirnya Sri Sultan Hamengku Buwono kedepalan pada peresmian gedung Madrasah Muallimin, merupakan bukti perhatian Kasultanan Yogya kepada persyarikatan. Selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono kesembilan.
Ia memberikan bantuan dan mengutus perwakilannya di Kongres Akbar Muhammadiyah pada 1940. Tidak hanya itu, ia datang langsung ke lokasi pemugaran Madrasah Muallimin pada 1952 bersama pengurus besar Muhammadiyah.
Bahkan, ia memberikan sebidang tanah di Kauman untuk SD Pawiyatan Muhammadiyah. Sri Sultan memfasilitasi beberapa kongres tahunan dan muktamar, seperti Kongres 1950 di Pendopo Dalem Notoprajan dan Muktamar ke-37 tahun 1968.
Kedekatan Muhammadiyah dan Kraton Ngayogyakarta terlihat dari beberapa peristiwa sejarah. Hal itu terlihat seperti pada 1918 saat Sultan Hamengku Buwono ketujuh boyongan menuju Pesanggrahan Ambarukmo.
Barisan Hizbul Wathon pimpinan KH Mochtar, turut mengawal dan jadi satu-satunya barisan di luar Pasukan Kesultanan. Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono kedelapan wafat pada 1939, Hizbul Wathon turut serta dalam prosesi upacara kehormatan menuju pemakaman.
Sri Sultan mengizinkan kepanduan Hizbul Wathon untuk masuk dalam barisan kirab penobatannya pada 1940. Suasan kekeluargaan sangat terasa ketika pengurus besar Muhammadiyah diterima Sri Sultan di Pesanggrahan Ndalem Ngeksigondo Kaliurang.
Dalam suasana kekeluargaan, tanpa dampar kencana, KH Mas Mansyur duduk berdekatan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono kesembilan. Kedekatan ini dilanjut Sri Sultan Hamengku Buwono kesepuluh.
Ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta, dan memberi izin Alun-Alun Utara digunakan arena pameran dan bazar muktamar. Usai Muktamar Satu Abad di Yogyakarta pada 2010, PP Muhammadiyah terpilih diterima Sri Sultan.
Penerimaan berlangsung di Gedhong Jene Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pertemuan dimaksudkan sebagai penyampaian terima kasih atas dukungan Kraton Yogyakarta dalam penyelenggaraan muktamar tersebut.
Dalam Muktamar 106 Muhammadiyah 2015 lalu, Sri Sultan Hamengku Buwono kesepuluh menyatakan Muhamamdiyah merupakan satu dari empat pilar keistimewaan Yogyakarta. Muhammadiyah bisa tumbuh besar dan mencapai usia lebih dari satu abad di antaranya karena dukungan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang luar biasa.