REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan Australia Peter Dutton membenarkan adanya operasi polisi di pusat detensi Pulau Manus di Papua Nugini , Kamis (23/11) pagi. Dia menyatakan ratusan penghuni akan dipindahkan dari detensi yang secara resmi telah ditutup tersebut.
"Rakyat Australia telah membayar sekitar 10 juta dolar AS untuk fasilitas baru dan kami menghendaki orang-orang pindah ke sana," katanya kepada stasiun radio Sydney 2GB.
"Tentunya, pada akhirnya hal ini merupakan masalah bagi polisi PNG dan pihak berwenang di sana tapi memang ada operasi yang melibatkan polisi pagi ini," jelasnya.
Sebelumnya, pengungsi asal Iran Behrouz Boochani di akun Twitternya melaporkan pihak berwenang PNG secara agresif meminta para penghuni untuk pergi, memicu kembali ketegangan dalam beberapa minggu setelah detensi itu ditutup.
Mantan wartawan tersebut mengatakan bahwa aparat PNG - dilaporkan "dipandu" seorang perwira Kepolisian Federal Australia (AFP) - memasuki kamar-kamar di kompleks Delta dan meneriaki penghuninya untuk pergi.
"Imigrasi dan polisi mulai memeriksai kamar dan menyatakan 'Move Move' Anda punya waktu satu jam untuk keluar," tulisnya.
"Banyak tekanan dan ketegangan di Delta sini. Beberapa pengungsi menangis," tambahnya.
"Seorang anggota Kepolisian Federal Australia sedang memandu pasukan brimob PNG, ada sekitar 50 brimob yang mengancam orang untuk pergi," kata Boochani.
Menanggapi laporan adanya seorang petugas AFP yang memandu operasi aparat PNG, dalam pernyataannya kepada ABC, AFP menjelaskan adanya "seorang petugas penghubung di Provinsi Manus" yang bekerja "dalam kapasitas pendampingan".
"AFP tidak memiliki anggota di bekas Pusat Pemrosesan Regional Manus dan tidak terlibat dalam tindakan hari ini," tambahnya.
Menteri Dutton meminta aktivis yang "bermaksud baik" untuk berhenti mendorong pencari suaka dan pengungsi tetap bertahan di pusat detensi itu.
"Dengan memberita tahu mereka untuk patuh pada pihak berwenang, menolak paket untuk kembali ke negara asal mereka, terima juga bahwa posisi kami tidak akan berubah," kata Dutton.
"Beberapa dari mereka percaya bahwa jika ada kekerasan dengan polisi dan rekamannya disiarkan ke sini, hal itu akan melemahkan dan mengubah kebijakan kami. Namun dalam keadaan apapun orang-orang ini boleh datang ke Australia," kata Menteri Dutton.
Kepada program Pacific Beat ABC, Boochani mengatakan pihak berwenang sejauh ini belum melakukan kekerasan secara fisik, namun tampak meningkatkan upayanya.
"Polisi dan petugas imigrasi tidak bersenjata apapun, mereka hanya meneriaki pengungsi untuk pergi," kata Boochani yang berada dalam detensi tersebut.
"Mereka baru saja menyerang di sini dan mengatakan bahwa Anda harus pindah saat ini," tambahnya.
Shen Narayanasamy dari LSM advokasi GetUp mengatakan pihaknya telah menerima laporan bahwa para penghuni bekas detensi itu diminta untuk pergi.
"Saya diberitahu bahwa polisi PNG telah memasuki kamp dalam jumlah besar dengan tujuan mengusir mereka dari kamp secara paksa," katanya.
Beberapa jam kemudian Boochani mengatakan bahwa ancaman terus berlanjut menjadi lebih agresif.
"Kami memblokade sekarang. Begitu banyak polisi dan petugas imigrasi di sekitar kami saat ini," tulisnya.
"Mereka menghancurkan segala sesuatu dan barang-barang kami dan sekarang meneriaki kami untuk meninggalkan kamp," tambahnya.
"Saya mencuit tweet ini dari toilet," katanya.
Juru bicara Partai Hijau untuk urusan imigrasi Nick McKim mengatakan pihaknya mendapat informasi adanya sekitar 100 polisi PNG di dalam detensi "menggiring mereka ke area kecil dan mengambil ponsel mereka".
"Ada ketakutan besar para tahanan bahwa kekerasan akan dilakukan terhadap mereka. Mereka bertekad untuk tetap damai," kata McKim.
"Namun jika ada kekerasan dan jika terjadi pertumpahan darah hal itu akan terjadi karena pilihan dan keputusan yang dibuat Malcolm Turnbull dan Peter Dutton," kata Senator McKim.
Simak beritanya dalam Bahasa Inggris di sini.