Senin 04 Dec 2017 00:11 WIB

Tingginya Kepedulian Sesama Hadapi Siklon Cempaka dan Dahlia

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Andri Saubani
Evakuasi korban terdampak longsor dan banjir di Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Evakuasi dilakukan tim operasi gabungan mulai dari BPBD, Polri, TNI, dan masyarakat. Rabu (29/1)).
Foto: dok. BPBD
Evakuasi korban terdampak longsor dan banjir di Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta. Evakuasi dilakukan tim operasi gabungan mulai dari BPBD, Polri, TNI, dan masyarakat. Rabu (29/1)).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kepedulian masyarakat terhadap sesama memang sangat tinggi, termasuk untuk memberikan bantuan saat terjadi bencana. Namun, bantuan-bantuan yang datang ke pos-pos pengungsian tampaknya kurang memperhatikan kebutuhan anak-anak yang tentu sangat penting.

Hal itu kembali terlihat saat terjadi cuaca ekstrem di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Baik siklon tropis cempaka maupun dahlia, cuaca ekstrem telah menimbulkan bencana angin kencang, banjir dan tanah longsor di banyak titik di empat kabupaten dan satu kota yang ada.

Relawan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat pun bergerak cepat untuk melakukan penanggulangan bencana. Pun lembaga-lembaga pemerintah seperti BPBD, SAR, TNI dan Polri, semua bergerak cepat melakukan langkah-langkah penanggulangan.

Semua sibuk melakukan penanggulangan baik dengan memindahkan pohon-pohon tumbang, sampai penyelamatan masyarakat yang terdampak banjir dan tanah longsor. Termasuk, mendirikan posko-posko pengungsian yang tersebar di lima kabupaten/kota.

Setidaknya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY mencatat ada 90 lebih titik-titik posko pengungsian yang didirikan. Baik didirikan lembaga-lembaga maupun secara swadaya oleh masyarakat sekitar yang tidak terdampak bencana.

Ada 67 titik pengungsian yang didirikan di Kabupaten Bantul, 12 titik pengungsian di Kabupaten Kulon Progo, 14 titik pengungsian di Kabupaten Gunung Kidul dan satu titik di Kabupaten Sleman. Satu titik pengungsian sempat pula didirikan di Kota Yogyakarta.

Tanpa menunggu status darurat ditetapkan, bantuan dari relawan-relawan telah mengalir bahkan saat bencana yang setidaknya terjadi selama tiga hari tersebut masih berlangsung. Baik dari DIY maupun luar DIY bantuan mampu disalurkan ke sejumlah titik pengungsian.

Tentu kita harus berterima kasih atas kepedulian itu. Namun, bantuan yang datang tampak kurang ramah untuk anak-anak karena sebagian besar berisikan kebutuhan pokok yang hanya dapat diolah untuk orang-orang dewasa secara umum.

Bantuan hanya berkisar ke makanan-makanan seperti beras, mie instan, dan beruntung ada sebagian roti yang bisa langsung disantap. Hal ini membuat dapur-dapur umum didirikan demi bisa mengolah bantuan makanan yang datang.

Pun untuk minuman. Sangat sedikit minuman seperti susu yang terlihat di posko-posko pengungsian. Secara umum, dapur-dapur pengungsi hanya menyediakan minuman air putih, dan untuk cepat sajinya hanya tersedia kopi, teh dan gula.

Tentu, anak-anak tidak meminum itu, sehingga mereka praktis hanya meminum air putih dan es-es jeruk yang biasanya diberikan relawan-relawan yang datang. Sebagian pengungsi malah harus membeli minuman rasa sendiri di warung-warung yang masih buka.

Padahal, mereka tentu merupakan aspek paling penting yang gizinya harus terjaga. Walau kebutuhan pokok seperti makanan dan minuman tersedia, tentu kebutuhan anak-anak seperti susu seharusnya masuk kategori primer di saat-saat seperti ini.

Selain itu, kebutuhan sekunder seperti hiburan-hiburan yang ada di posko-posko pengungsi terpantau sangat kurang untuk anak-anak. Sedangkan, posko pengungsian rata-rata hanya berada di lapangan luas atau ruangan-ruangan besar.

Praktis, anak-anak yang mengungsi karena tidak bisa menjalani aktivitas seperti biasa, sehari-hari hanya lari-lari ke sana ke mari. Hiburan hanya diberikan spontan oleh relawan-relawan yang kebetulan tidak sedang sibuk.

Untuk anak-anak sekolah, tidak tersedia pula buku-buku bacaan di posko-posko pengungsi. Padahal, mereka tentu tidak bisa melakukan aktivitas belajar di sekolah karena bencana, termasuk banjir yang merendam sejumlah sekolah.

Ironisnya, kondisi serupa terjadi hampir di semua posko-posko pengungsian, dan terus bertahan sampai sebagian pengungsi memutuskan kembali ke rumah masing-masing. Itupun, saat cuaca terbilang kondusif dan bagi mereka yang rumahnya tidak terdampak berat.

Kondisi itu terlihat pula di pos-pos besar seperti Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul dengan 2.419 pengungsi, Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo dengan 381 pengungsi, dan Kecamatan Semanu Kabupaten Gunung Kidul dengan 842 pengungsi.

Sekalipun titik-titik itu sudah dikunjungi Bupati, Gubernur sampai Menteri, terpantau hanya sedikit peralatan untuk anak-anak di posko-posko pengungsian. Bahkan, peralatan seperti popok harus dibeli petugas atau relawan secara spontan.

Tanpa mengurangi apresiasi atas bantuan-bantuan yang telah dikirimkan, tentu aspek ini harus mendapat perhatian. Karenanya, akan lebih bijak sebelum mengirimkan bantuan, bisa melihat kebutuhan pengungsi atau berkoordinasi dengan petugas-petugas di lokasi.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement