Kamis 04 Jan 2018 06:03 WIB

AS Terus Kipasi Unjuk Rasa di Iran

Mahasiswa Iran terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian saat menggelar demonstrasi antipemerintah di Universitas Teheran di Teheran, Iran, pada 30 Desember 2017.
Foto: EPA-EFE/STR
Mahasiswa Iran terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian saat menggelar demonstrasi antipemerintah di Universitas Teheran di Teheran, Iran, pada 30 Desember 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, Pengadilan Iran ancam hukuman mati untuk pengunjuk rasa.

WASHINGTON – Dorongan dan dukungan bagi para pengunjuk rasa antipemerintahan di Iran terus diserukan Pemerintah Amerika Serikat. Mereka meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar sidang darurat, menyusul aksi demonstrasi massal yang berlangsung sejak pekan lalu dan telah menimbulkan korban jiwa itu.

"Kita tidak boleh diam, rakyat Iran menangis untuk kebebasan. Semua orang yang mencintai kebebasan harus mendukung tujuan mereka," kata Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley, di markas PBB di New York, seperti dikutip di Anadolu Agency, Rabu (3/1).

Nikki Haley menyatakan, AS juga menyerukan dilakukannya sidang darurat oleh Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM PBB di Jenewa, terkait demonstrasi massal di Iran.

Seruan tersebut sejalan dengan komentar-komentar yang dilontarkan Presiden AS Donald Trump dan Wakil Presiden AS Mike Pence, melalui akun media sosial masing-masing. Keduanya mengicaukan dukungan terhadap para pengunjuk rasa di Iran pada Selasa (2/1).

Terlepas dari dukungan terang-terangan itu, Haley menyangkal negaranya ada di balik aksi unjuk rasa Iran. “Kita semua tahu itu omong kosong belaka. Demonstrasi tersebut benar-benar spontan, hampir di setiap kota di Iran. (Demonstrasi) ini adalah gambaran yang tepat tentang orang-orang yang telah lama tertindas bangkit melawan kediktatoran mereka," kata Haley.

Tentangan Presiden Trump terhadap Iran, mulai ia sampaikan secara terang-terangan saat mengunjungi Arab Saudi pada Mei tahun lalu. Di hadapan 50 pemimpin negara mayoritas Muslim, ia mengatakan, aksi Iran mendanai dan mempersenjatai sejumlah pemberontakan di Timur Tengah harus dihentikan.

Pada Oktober 2016, Trump mengancam akan menarik AS dari kesepakatan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang diteken Presiden Barack Obama. Pakta itu ditandatangani pada 2015 antara Iran dan sejumlah negara kekuatan dunia lainnya.

Trump menilai, kesepakatan itu terlalu lunak dan bisa memberikan kesempatan bagi Iran memproduksi senjata nuklir. Klaim Trump itu berulang-ulang dibantah Pemerintah Iran.

Aksi unjuk rasa belakangan ini dimulai warga di kota terbesar kedua Iran, Masshad, Kamis (28/12) pekan lalu. Mereka memprotes kenaikan harga-harga bahan pokok dan tingginya tingkat pengangguran, serta korupsi di pemerintahan. Unjuk rasa itu kemudian meluas ke berbagai kota lain.

Kemarahan warga ujung-ujungnya ditujukan, baik kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei maupun Presiden Iran Hassan Rouhani. Para pengunjuk rasa juga menyatakan keberatan dengan aksi-aksi Iran di regional di tengah kondisi ekonomi dalam negeri.

Pada Rabu (3/1) menurut laporan media-media setempat, korban tewas dalam aksi unjuk rasa di berbagai kota di Iran telah mencapai 23 orang. Sedangkan 500 pengunjuk rasa juga telah ditangkap kepolisian Iran termasuk 200 orang di Teheran. Penangkapan juga dilaporkan terjadi di Provinsi Arak, Isfahan dan Robat Karim, serta Azerbaijan Barat.

Media pemerintah Iran juga menayangkan demonstrasi propemerintah di kota-kota di seluruh negeri pada Rabu (3/1). Demonstrasi tandingan itu dilakukan setelah Ayatollah Ali Khamenei menuding pihak-pihak asing ikut campur dalam aksi protes beberapa hari belakangan dalam pidato pada Selasa (2/1).

Khamenei tak menyebut negara-negara asing yang dia maksud, tapi berjanji akan menguraikannya beberapa hari mendatang.

Kepala Pengadilan Revolusi Teheran Mousa Ghazanfarabadi memperingatkan, para pemrotes yang ditahan berpotensi menghadapi hukuman mati. "Satu tuduhan mereka adalah moharebeh," menurut laporan kantor berita semiresmi Iran Tasnim, kemarin. Dalam bahasa Persia, moharebeh berarti melancarkan perang melawan Tuhan.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga disebut memantau lekat hiruk-pikuk di Iran. "Kami menyesalkan hilangnya nyawa yang dilaporkan, dan kami berharap, agar kekerasan yang berkelanjutan dapat dihindari. Kami berharap, hak berkumpul dan berekspresi dengan damai dari orang-orang Iran akan dihormati," kata juru bicaranya, Farhan Haq, kemarin.

(silvy dian setiawan/crystal liestia purnama, Pengolah: fitriyan zamzami).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement