REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI--Para buruh di Kabupaten Sukabumi memberikan surat kepada Bupati Sukabumi Marwan Hamami. Dalam surat tersebut disebutkan harapan agar orang nomor satu di Sukabumi memutuskan upah minimum sektoral sepatu di Sukabumi.
Surat cinta itu berasal dari Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi. ''Kami menulis surat cinta ini karena setelah aksi demo Desember lalu belum ada tindak lanjut dari bupati,'' ujar Ketua SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi Moch Popon kepada wartawan Rabu (10/1).
Ia mengatakan, para buruh berharap agar bupati segera menetapkan upah sektoral sepatu. Pasalnya, kata dia, hingga kini belum ada kejelasan untuk penetapan upah sektoral.
Namun, kata Popon, bila dewan pengupahan ataupun pemkab menerima laporan keuangan perusahaan sepatu dalam keadaan merugi. Maka, lanjut dia, para buruh akan menghentikan tuntutan penetapan upah sektoral.
Sebaliknya, ujar Popon, bila perusahaan keberatan dengan upah sektoral tanpa menunjukkan laporan keuangan perusahaan. Hal ini, lanjut dia, harus disikapi pemkab dengan segera menetapkan upah sektoral. Sebab, pelaku usaha dinilai tidak beriktikad baik untuk meningkatkan kesejahteraan buruh.
Terlebih lanjut Popon, tuntutan upah sektoral sudah digaungkan sejak tiga tahun lalu. Tuntutan ini disampaikan buruh dengan menggelar aksi damai ke Pendopo Kabupaten Sukabumi, Jalan Ahmad Yani, Kota Sukabumi pada 21 Desember 2017 lalu.
Menurut Popon, para buruh merasa belum ada kejelasan pembahasan dewan pengupahan Kabupaten Sukabumi mengenai upah sektoral untuk sepatu dan garmen besar. Para buruh menginginkan pemerintah daerah yang duduk di dewan pengupahan agar segera memfasilitasi perundingan upah sektoral sepatu dan garmen skala besar.
Pemerintah, lanjut Popon, dipandang perlu bertindak tegas dalam menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk di dalamnya jadwal kegiatan yang sudah disepakati oleh semua unsur di dewan pengupahan. Ia menerangkan, para buruh juga meminta pemerintah untuk menolak dengan tegas usulan pengusaha atau asosiasi pengusaha.
Misalnya pengusaha meminta ditetapkannya upah padat karya atau menetapkan upah di bawah upah minimum kabupaten (UMK) yang sudah ditetapkan Gubernur Jawa Barat. Padahal, seharusnya perusahaan menetapkan upah sesuai UMK.