REPUBLIKA.CO.ID, Keutamaan tidak cukup hanya dimaknai, tetapi bagaimana menjadi gerakan dan dilaksanakan. Sejak awal berdirinya, organisasi perempuan tertua di Indonesia, Aisyiyah, telah banyak berkiprah di tengah masyarakat dalam berbagai bidang. Gerakan dan amal kegiatan Aisyiyah pun menjadi bagian tak terpisahkan dari gerak langkah Muhammadiyah dalam mengimplementasikan nilai-nilai Islam berkemajuan.
Aisyiyah terus berupaya meningkatkan kapasitas kaum perempuan dan keluarga. Meski demikian, seperti dijelaskan Ketua Umum PP Aisyiyah, Noordjanah Djohantini, bahwa sejatinya perwujudan nilai-nilai Islam berkemajuan dicapai dalam banyak aspek.
Misalnya, Islam yang menyemaikan kebaikan, keutamaan, kemaslahatan, keadilan, dan lain-lain. ‘’Bagaimana kalau kemudian dalam banyak hal kita berlaku adil itu berdasarkan Islam berkemajuan, Bagaimana kalau kita bertoleransi, saling menghormati, membantu orang lain, mengentaskan kemiskinan, itu semua bagian dari implementasi dari Islam berkemajuan,’’ kata Noordjanah Djohantini, Selasa (16/1).
Menurutnya, keutamaan tidak cukup hanya dimaknai, tetapi bagaimana menjadi gerakan dan dilaksanakan. Inilah yang melandasi segenap aktivitas Aisyiyah termasuk dalam merumuskan program-program sosial kemasyarakatan. ‘’Hidup rukun dengan tetangga, tolong menolong dengan sesama, memuliakan anak yatim, memberikan pelayanan sosial, juga terus disampaikan di masjid maupun majelis taklim,’’ ujar dia.
Lebih lanjut ditekankan, aktualisasi nilai-nilai Islam berkemajuan merupakan upaya dalam memaknai surat Al Maun seperti yang selalu ditekankan oleh Kiai Ahmad Dahlan. ‘’Menjadi perhatian, keberpihakan kita kepada orang miskin dalam banyak aspek. Ya aspek nilai keagamaan, spiritilualitasnya, juga hak-haknya sebagai manusia mendapat perlindungan. mendapat bantuan, mendapat akses, juga dari Al Maun,’’ katanya.
Menurut Noordjannah, dalam perkembangannya, istilah yatim dalam al Maun menjadi berkembang, bukan saja yatim secara biologis, melainkan juga kehilangan perlindungan, tidak punya harapan hidup, tetangga tidak ada yang melindungi, bahkan negara pun tidak memberikan perlindungan terhadap hak-haknya.
Padahal, kata dia, Al Maun menjadi spirit yang dashyat bagi yang mampu menolong dan tidak semata-mata karitatif. Karitatif itu sebagai jaring pengaman sosialnya, tetapi ada hal-hal yang kemudian membuat orang memberi sesuatu pada hal yang lebih produktif untuk kepentingan jangka panjang.
Surat Al Maun itu, Noordjannah menambahkan, memiliki makna yang luar biasa dan berkembang seiring perubahan zaman. Misalnya, yatim telah memiliki makma yang luas, termasuk orang yang terasing, tidak mendapat perlindungan, difabel, bahkan anak yang tidak mendapat akses.
‘’Termasuk teman-teman pekerja perempuan itu juga menjadi bagian dari yatim karena terus berjuang sedemkian rupa, hak-hak hukumnya masih lemah, sehingga Al Maun juga menjadi sebuah landasan teologis yang mampu menggerakkan seluruh amal kegiatan,’’ katanya.
Noordjannah menjelaskan gerakan Asyiyah juga menitikberatkan perlindungan pada anak laki-laki dan perempuan serta perempuan dewasa. Tetapi persoalan keluarga, baik itu yang terlemahkan laki-laki maupun perempuan, juga mendapat perhatian yang sama di Biro Konsultasi Keluarga Sakinah (Biksa).
‘’Nilai Islam berkemajuan itu ya untuk solidaritas, toleransi, dan bagaimana mengeliminasi atau mengurangi nikah dini. Masyarakat harus diedukasi bahwa pernikahan itu tidak semata-mata usia dan sudah baligh, karena mereka belum memiliki kematangan dari sisi kesehatan fisik maupun mental. Sehingga untuk berkeluarga perlu kesiapan,’’ ujarnya.